Lihat ke Halaman Asli

Alip Yog Kunandar

TERVERIFIKASI

Bukan Pemikir, Meski Banyak yang Dipikirin

Catatan 90s: (6) Kemeja Flannel Keramat

Diperbarui: 17 Januari 2021   11:25

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

dokpri

Dari dulu, saya tak terlalu suka pakai kemeja. Kalau sekarang sering pakai, itu lebih karena tuntutan pekerjaan saja. Pilihannya hanya kemeja 'biasa' atau kemeja batik.

Sebelum masuk kuliah dulu, saya dibelikan tiga potong kemeja lengan panjang oleh Emak, untuk kuliah. Dua kemeja kain 'biasa' dan satunya lagi kemeja flannel kotak-kotak yang saat itu lagi tren. Tapi kemeja flannel saya itu rada nyeleneh warnanya. Bukan kotak-kotak papan catur hitam-putih seperti pada umumnya, tapi biru-oren-putih. Kemeja flannel itulah favorit saya dulu, karena tidak biasa.

Awal kuliah, tiga kemeja itu dipakai bergantian. Tapi lama kelamaan mulai saya tinggalkan. Di kampus waktu itu, ternyata tak terlalu ketat soal aturan pakaian. Pake kaos oblong alias T-shirt pun tak masalah. Sepatu juga begitu. Banyak kawan yang masuk kelas pake sandal jepit biasa dan tidak dipermasalahkan.

Jangankan pakaian, di kelas pun masih bisa merokok, dan tak ada yang protes. Gimana mau protes kalau dosen juga pada ngebul sambil ngajar. Nggak ada AC-AC-an. Kipas angin pun tak ada. Cukup buka jendela yang berderet kiri kanan, selesai.

Ya sudah, saya pun balik ke selera asal, ngampus pake celana jeans, kaos oblong --banyaknya C-59 yang gambarnya macem-macem dengan sablonan bagus dan awet---dan sepatu. Sendal jepit jarang, sesekali saja.

Kemeja-kemeja yang hanya tiga potong itu daialihtugaskan, hanya untuk urusan-urusan 'resmi.' Masuk tahun 95-an saya mulai aktif di pers kampus. Selain reporter, tugas tambahan saya adalah fotografer, karena sudah punya kamera SLR yang juga dipake buat nyari tambahan penghasilan.

Penerbitan pers kampus dalam bentuk majalah tidak terlalu rutin. Bukan apa-apa, soal biaya terbit saja yang susah. Yang paling rutin adalah pengelolaan majalah dinding (mading) yang dipajang di lorong kelas. Namanya Acta Diurna --mengambil nama papan pengumuman zaman Romawi yang dianggap sebagai cikal bakal kegiatan per situ. Mading itu rutin terbit, dua minggu sekali. Formatnya masih diketik dan ditempel, dikasih ilustrasi dan sesekali foto.

Meski hanya dalam bentuk mading, pengelolaannya serius. Saya sering membuat liputan di luar kampus. Terutama konser-konser musik. Nonton, motret, tulis, ketik, kasih foto hasil liputannya, pajang. Entah berapa banyak artis dan band yang saya liput, ada beberapa yang juga berhasil saya wawancara. 

Seingat saya, sejak tahun 95-an saya sudah meliput konsernya Java-Jive, Dewa-19, Kahitna, Protonema, Pure Saturday, /rif, Warna, Base Jam, Ab-Three, Trie Utami, Utha Likumahua, Nafa Urbach, Rossa, Sania, dan lain-lain, termasuk Slank yang baru ganti formasi setelah memecat Pay, Indra, dan Bongky.

Waktu mading menayangkan liputan Slank dan memuat fotonya. Beberapa hari kemudian kaca penghalangnya pecah. Foto Kaka yang sedang beraksi hilang dicopot! Mungkin mahasiswa yang juga Slanker yang mengambilnya. Entahlah.  

Apakah saya harus keluar duit untuk menonton konser-konser itu? Tidak. Meski hanya 'wartawan mading,' saya selalu sukses meyakinkan panitia untuk mengizinkan saya masuk. Ada saja alasannya, dan kamera SLR saya, meski tidak terlalu canggih, cukup meyakinkan mereka kalau saya adalah 'wartawan' serius.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline