Lihat ke Halaman Asli

Alip Yog Kunandar

TERVERIFIKASI

Bukan Pemikir, Meski Banyak yang Dipikirin

Catatan 90s: (3) WP Si Penyambung Hidup

Diperbarui: 12 Januari 2021   21:17

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kartu Wesel Pos Jadul (Sumber: picuki.com)

Memilih kuliah jauh di pertengahan tahun 90-an rasanya memang penuh tantangan. Yang paling repot adalah soal mengolah keuangan, dan bertahan jika kehabisan uang sementara kiriman uang belum tiba. Saya merasakan betul hal ini.

Belum genap sebulan menjadi mahasiswa baru, bekal uang yang dibawa dari kampung sudah sangat menipis. Habis untuk ini-itu, mulai dari peralatan di kosan, keperluan kuliah, ongkos kesana-kemari, dan tentu saja untuk biaya makan sehari-hari.

Soal makan sebetulnya saya tak boros-boros amat. Saya cepat beradaptasi dengan lingkungan. Di sekitaran kampus Unhas waktu itu, banyak warung makan. Kebanyakan pemiliknya adalah orang-orang dari Jawa. Bangunan warung didirikan di atas rawa-rawa di pinggiran tembok kampus.

Dari tempat kos saya, harus melewati 'gang' berupa jembatan kayu yang alasnya jarang-jarang selebar satu meteran. Kalau berpapasan dengan orang lain, harus hati-hati, jangan sampai bersenggolan, bisa nyemplung ke rawa. Saya pernah nyemplung sekali gara-gara menginjak bagian pinggir dan paku di ujung sana sudah lepas. Alhasil, rencana pergi kuliah batal karena badan belepotan lumpur rawa.

Salah satu warung langganan saya, namanya Warung Dian, persis di jalan tikus di belakang Gedung Workshop Fakultas Teknik. Di situ, makanannya lumayan masuk selera saya. Yang terkenal adalah nasi ayamnya, seporsi dulu 750 rupiah. Menurut kawan yang sekarang jadi dosen di almamater saya, warung itu masih ada, bergeser lokasinya sedikit dan sudah menempati bangunan permanen, bukan rumah panggung dengan lantai kayu lagi.

Tapi ya itu, dulu warung-warung makan paling cepat buka jam 10 pagi. Kebiasaan sarapan saya bergeser lebih siang, makin lama makin siang, akhirnya sarapan digabungkan makan siang, ditambah nanti sore atau malam. Dua kali sehari.

Makan dua kali sehari berarti saya perlu 1.500, kali tigapuluh hari, sebulan setidaknya butuh 45.000 rupiah. Ke kampus tak perlu ongkos, tinggal jalan kaki. Keperluan lainnya adalah patungan listrik yang dibagi rata seluruh penghuni kos, rata-rata 5.000 perbulan.

Ketika bekal menipis, saya segera mengirim surat ke kampung, memberi tahu alamat kosan, dan juga perkiraan kebutuhan perbulan. Saya mengajukan uang seratus ribu sebulan. Teman sekamar yang anak kedokteran, mengajukan 200 ribu. Maklum, dia banyak praktikum.

Setelah menunggu lebih dari seminggu dengan kondisi keuangan yang makin kritis, sampai harus mengurangi makan nasi menjadi sekali sehari, penyelamat itu datang. Ada kiriman uang untuk saya dalam bentuk WP, Wesel Pos. Nilainya? Jauh dari proposal yang diajukan. Angka yang tercantum hanya 50.000. Ada catatan di sampingnya, tulisan Bapak "Untuk biaya hidup sebulan. Nanti kiriman setelah tanggal 4, menunggu gajian."

Sebulan 50 ribu? Untuk makan saja, hitung-hitungannya perlu 45.000, sisanya buat listrik. Untuk yang lain-lain? Tapi mau apa lagi, saya harus bersiap untuk mengelola uang itu selama sebulan ke depan. Nanti lah dipikirkan bagaimana, yang penting uang harus dicairkan dulu.

Tapi ternyata, mencairkan WP tidak mudah. Tidak semua kantor pos bisa mencairkan dana. Paling aman, pergi ke kota, ke kantor pos pusat. Berangkatlah ke sana. Dan ternyata, itu juga tidak bisa langsung cair. Saya diminta menunjukkan KTP yang sesuai dengan alamat kirim. Jelaslah saya kelabakan. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline