Pernah merasa 'tertipu' dengan tempat wisata yang diunggah teman di Instagram atau medsos lain? Saya sudah berkali-kali. Kapok? Nggak juga, karena setelah itu giliran saya yang bisa 'menipu' yang lain.
Mari kita tengok dulu sebuah istilah yang mungkin sudah Anda kenal, Visual Deception. Kalau belum kenal, saya kenalin dulu sosoknya. Kita dikaruniai Tuhan sepasang mata yang sempurna. Sempurna dalam arti cukup untuk keperluan hidup manusia; cukup untuk dipakai memonitor jalan supaya nggak nyusruk, cukup untuk menjadi perantara masuknya pengetahuan dari luar --lewat membaca misalnya, cukup untuk bisa melirik cewek-cewek cakep, dan cukup-cukup lainnya. Itulah kategori mata yang sempurna bagi manusia.
Tapi jika dibandingkan dengan makhluk-makhluk hidup lainnya, mata kita punya banyak kekurangan. Ketika malam gelap, mata manusia kalah sama mata seekor kukang yang justru keluar malam untuk mencari makan, dan mengandalkan kekuatan matanya yang bisa menembus kegelapan untuk nyaplok seekor belalang apes.
Mata kita kalah sama mata ikan yang hidup di air selamanya tanpa membuat matanya pedes dan merah sampe perlu pake kacamata renang segala. Mata kita kalah sama mata lalat yang bisa memberitahu kecepatan gerakan yang bisa mengancam nyawanya. Mata hewan-hewan itu, ya sempurna, untuk mereka, tapi juga sama seperti mata kita, punya kelebihan dan kekurangannya. Jadi nggak usah sirik pengen punya kelebihan yang bukan jatah kita.
Bayangin aja kalau kita punya mata tajam dalam gelap kayak kukang, terus lewat kuburan angker, dan liat setan. Lah kita liat bayangannya aja udah terkencing-kencing, gimana kalo kita punya mata yang tajam? Hehe... (contohnya nggak nyambung, biarin aja). Toh dengan kelebihannya itu, si Kukang juga punya kekurangan. Di siang hari dia harus ngumpet dan bobo manis, karena matanya tidak kuat melihat cahaya yang berlebihan. Kalau mau tukeran, ya silakan..
Keterbatasan mata kita (keterbatasan tidak sama dengan ketidaksempurnaan ya), menyebabkan banyak 'masalah.' Artinya, realitas yang ditangkap oleh mata kita, bukanlah realitas utuh. Ada distorsi. Contoh sederhananya, kita melihat langit dan lautan berwarna biru. Apakah langit dan air laut benar-benar berwarna biru? Michael Kruger, seorang ahli fisika dari Universitas Misouri menjelaskan bahwa laut dan langit tidaklah biru seperti yang terlihat.
Menurutnya, pada saat matahari di siang hari muncul, lautan terlihat biru karena air menyerap warna merah, oranye dan kuning, warna cahaya gelombang panjang yang muncul. Sementara warna biru, cahaya gelombang pendek tidak terserap sehingga muncul dalam pandangan kita. Hal ini disebut dengan penyerapan preferensial. Dan hanya terjadi jika air laut benar-benar jernih, lain halnya jika air dipenuhi lumpur, ganggang, atau kotoran lainnya.
Sementara langit terlihat biru karena atmosfir menyebarkan cahaya gelombang pendek (biru) lebih jauh daripada penyebaran warna lainnya. Ini disebut dengan efek 'Rayleigh Scattering,' yang tidak terjadi saat senja ketika cahaya harus melewati banyak atmosfir, sehingga yang bisa menembusnya adalah cahaya gelombang panjang, yakni merah, jingga, atau kuning. Maknya, langit tak lagi biru ketika senja. Begono, kata Mas Kruger lho, bukan kata saya.
Visual deception tidak serta-merta merugikan. Kalau kita orang yang pandai bersyukur, ya itu harus disyukuri, karena dunia ini menjadi lebih indah dilihat. Coba aja kita ngomongin pelangi yang selalu menjadi inspirasi tentang keindahan. Aslinya, pelangi itu tak pernah ada, hanya pantulan cahaya pada bulir-bulir air yang secara ajaib ditangkap oleh mata kita menjadi tujuh warna yang indah, mejikuhibiniu kalau kata guru sekolah; merah, jingga, kuning, hijau, biru, nila, ungu. Nggak percaya kalau pelangi itu tidak ada? Silakan kejar sendiri kalau masih ngeyel.
Nah, orang-orang optimistis dan pandai bersyukur, menyebut visual deception itu sebagai ilusi optik atau ilusi visual. Mereka menganggap kekurangan mata kita itu justru menghasilkan hal yang menyenangkan, tidak dianggap sebagai kebohongan atau bahkan penipuan. Ilusi optik paling menyenangkan dan akrab ya ketika kita bercermin.
Apakah cermin benar-bener jujur? Ya enggak lah, kiri-kanan saja dibalik sama dia, mau jujur gimana. Yang menganggap cermin itu jujur adalah orang yang menemukan sosok indah yang terpantul darinya, "Wiih, gue cakep juga ya!" Coba kalau yang menemukan sosok buruk rupa, apa dia masih percaya pada 'kejujuran' cermin? Hehe... Selain cermin, banyak contoh ilusi optik atau ilusi visual lain. Misalnya kita bisa melihat kenapa pensil yang dimasukkan ke dalam gelas berisi air menjadi terlihat bengkok. Dan sebagainya.