Lihat ke Halaman Asli

Alip Yog Kunandar

TERVERIFIKASI

Bukan Pemikir, Meski Banyak yang Dipikirin

Stalin: (28) Bapak yang Durhaka

Diperbarui: 24 Desember 2020   08:18

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

WPAP by Alip Yog Kunandar

Episode Awal: (1) Soso

Episode Sebelumnya: (27) [Bukan] Cita-cita

*****

Sudah beberapa bulan sejak Soso meninggalkan Gori dengan terpaksa, tak ada kabar berita yang terdengar. Ya mau lewat mana tu kabar, bisikan angin? Lama pula Romo Chark nggak ke Tiflis, jadi tak ada yang dititipi. Ada dua kabar yang sebetulnya ingin didengar oleh Soso. Satu soal si Gisa. Ia ingin tahu nasib sahabatnya itu. Apakah ia dihukum? Kalau dihukum, apa hukumannya. Bagaimana pula dengan nasib teman-temannya yang terlibat dalam pembajakan yang gagal itu. Apakah ia, Peta, dan Seva jadi buronan polisi?

Satu kabar lagi, soal Bonia. Duh, jangan-jangan perut anak itu mulai membuncit, lalu Soso jadi buronan Pak Koba, disuruh balik untuk jadi adik iparnya si Yuri. Soso mulai takut dosa? Kayaknya sih nggak. Dia lebih takut disuruh tanggungjawab dan mengakhiri perjalanan hidupnya yang baru saja dinikmatinya di Tiflis. Bisa saja ia membawa Bonia ke Tiflis nantinya, bawa anaknya pula. Tapi apa iya hidupnya akan sama lagi? Itu yang dia sesalkan, dan sangat dia takutkan.

Gara-gara kejadian sama Bonia itu pula, sejak kembali ke Tiflis, Soso belum pernah lagi mengunjungi Irena. Ia jadi takut. Takut kebablasan lagi kayak sama si Bonia --apalagi Irena kayaknya punya bakat yang sama, malu-malu kucing; meleng dikit nyaplok. Atau mungkin juga karena Soso merasa bersalah. Jangan-jangan Irena juga berharap jauuuuh sejauh hulu dan muara Sungai Kura. Seperti Bonia pula, Soso nggak keberatan jika nanti hidup bersama Irena. Tapi apa ia sudah siap?

Diskusinya bersama Pangeran Ilia membuatnya merenungkan kata-katanya sendiri. Apa mimpinya, apa cita-citanya, apa tujuan hidupnya, apa yang targetnya dalam waktu dekat, setelah itu apa selanjutnya, selanjutnya, dan selanjutnya. Apa iya dia beneran mau menyelesaikan sekolahnya, tamat, jadi pendeta, mengabdi untuk gereja? Atau ia punya jalan lain yang ingin ditempuhnya? Jadi penyanyi? Nggak juga. Jadi penyair? Mungkin saja, meski ia juga nggak yakin bisa terus-terusan berkarya, dan karyanya itu bisa menghidupinya nanti. 

Siang itu, entah kenapa perasaan Soso nggak enak. Sampai seorang pengawas mengetuk pintu kelas dan berbicara dengan Romo Subutov. Ia lalu memanggil Soso. Soso mendekati pengawas itu. "Ada tamu untukmu!" katanya.

Soso tidak sempat bertanya siapa 'tamu' itu. Selama di asrama, ia belum pernah mendapatkan 'tamu,' siapapun. Selama ini, orang yang pernah menemuinya paling Romo Chark. Itupun tidak mengunjunginya di seminari, sekali saja, sewaktu Soso masih tinggal di rumah Mak Imel. Tapi ia tak punya kandidat lain soal tebakannya mengenai 'tamu' itu. Masak iya Mak Keke. Atau, jangan-jangan Pak Koba, nyusul buat dikawinin sama si Bonia, duh!

Sebelum sampai ke ruang tamu yang berada di gedung depan lantai paling bawah, Soso sudah bisa melihat ada seseorang duduk di sana. Seorang lelaki. Semakin dekat, semakin ia kehilangan petunjuk, siapa lelaki bertubuh ceking dengan pakaian compang-camping itu.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline