Lihat ke Halaman Asli

Alip Yog Kunandar

TERVERIFIKASI

Bukan Pemikir, Meski Banyak yang Dipikirin

Stalin: (14) Dalam Tembok Derita

Diperbarui: 16 Desember 2020   15:48

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

dokpri

Episode Awal: (1) Soso

Episode Sebelumnya: (13) Sel dalam Asrama

*****

Seminari yang dijalankan oleh Gereja Orthodoks Rusia sudah ada di Tiflis sejak 1817, beberapa tahun setelah kekaisaran Rusia di bawah Tsar Alexander I ‘membebaskan’ separuh wilayah Georgia, Kerajaan Kartli Kakheti, dari penguasaan Persia. Rusia tak ingin masyarakat Kartli-Kakheti yang sudah meninggalkan kepercayaan pagan dan beralih menjadi Kristen, akan beralih menjadi muslim seperti yang terjadi di bagian selatan Kaukasus seperti Armenia dan Azerbaijan. Agama Kristen sendiri sudah masuk Georgia sejak abad pertama masehi dan resmi menjadi agama kerajaan Kartli pada abad ke-3 masehi.

Bukan saja ancaman dari pengaruh orang-orang Muslim yang berada di selatan Georgia, Persia dan Otoman, Rusia juga melihat ancaman dari kalangan Kristen sendiri, terutama pengaruh Gereja Katholik Roma, dan belakangan gerakan Protestan. Karena itu, sejak 1811, Tsar Alexander I memerintahkan Gereja Ortodoks Rusia mengambil alih gereja-gereja yang ada di seluruh wilayah Georgia. 

Pendirian seminari di Tiflis itu juga bagian dari program untuk memperkuat pengaruh Rusia di wilayah itu, dan wilayah-wilayah lain yang dicaploknya. Seminari lain ada di Kiev, Ukraina yang dijalankan sejak tahun 1819, menggunakan bangunan yang sebelumnya adalah Akademi Kiev Mohyla yang sudah berdiri sejak tahun 1615. Selain di Kiev dan Tiflis, seminari yang serupa juga didirikan di Baku, Azerbaijan yang juga wilayah terluar Rusia hasil perluasan.

Tadinya, seminari di Tiflis menempati gedung kecil di bagian timur Sungai Kura. Karena jumlah siswanya terus bertambah, ditambah lagi dengan pemberian beasiswa oleh gereja yang digencarkan, gedung itu tak mencukupi lagi. Seorang konglomerat gula di Tiflis, Jacob Zubalasvili, mengalami kebangkrutan. Ia meninggalkan sebuah gedung megah bergaya neoklasik tak jauh dari Yerevan Square. Gereja mengambil alih gedung itu dan memperluasnya lalu memindahkan seminari ke situ secara bertahap sejak tahun 1840-an.

Bangunan peninggalan Zubalasvili dijadikan pintu masuk sekaligus ruang utama untuk guru, pengawas, dan rektor. Di kiri dan kanannya didirikan bangunan memanjang empat lantai untuk semua kegiatan seminari, termasuk asrama untuk para siswa yang berada di lantai atas. begitupun dengan bagian belakang yang kemudian menjadikan kompleks berbentuk segitiga dengan ruang terbuka di bagian tengah untuk berbagai kegiatan.

Tapi tak banyak yang tahu, di bawah koridor gedung bagian belakang, tepat di bawah perpustakaan dan beberapa ruangan lain, ada kamar-kamar kecil tanpa penerangan apapun; sel hukuman untuk siswa yang melakukan pelanggaran berat.

Dan Soso, sekarang berada di situ.

Tak ada lampu di ruangan itu. Tak ada pula jendela yang bisa mengantarkan cahaya dari luar. Siang atau malam tak bisa dibedakan. Kalau Mas Joko di situ, mungkin akan menyebutnya petheng dedhet, sementara Kang Asep akan menyebutnya poek mongkleng, alias gelap gulita. Kalau berlama-lama di situ, siapapun tak akan bisa lagi membedakan waktu, siang atau malam.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline