Lihat ke Halaman Asli

Alip Yog Kunandar

TERVERIFIKASI

Bukan Pemikir, Meski Banyak yang Dipikirin

Stalin: (9) Toko Buku Yahudi

Diperbarui: 16 Desember 2020   15:42

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Episode Awal: (1) Soso

Episode Sebelumnya: (8) Irena Federova

*****

Tidak terasa, sudah lebih tiga bulan Soso berada di Tiflis. Kulitnya terlihat lebih pucat karena hari-hari berada di dalam ruangan berbau menyengat itu, dan jarang terkena sinar matahari. Di pabrik, reputasinya menanjak, terutama di kalangan pekerja anak yang jumlahnya sekitar 30 orang, nyaris sepertiga jumlah pekerja di pabrik itu.

Soso masih saja melanjutkan kisah “Ksatria Berkulit Macan” yang nyaris tak selesai-selesai itu, bahkan bagian kedua dari epos itu, ketika Teriel mencari Nestan-Darejan belum sampai. Masih berkutat soal Avtandil yang mencari-cari Teriel si Ksatria Berkulit Macan itu. Kisahnya masih muter-muter, ditambahi kiri-kanan yang sebetulnya nggak ada di dalam cerita buatan Shota Rustaveli itu. Selain karena Soso memanjang-manjangkannya, karena makin banyak anak yang bergabung mendengarkannya, ia diminta mengulang lagi, dan tentu saja ulangannya tidak lagi sama, kadang malah ditambahi lagi.

Memang tak semua pekerja anak yang menjadi penggemar dongeng Soso. Sekelompok anak Armenia tak ikut bergabung. Mungkin karena mereka tak paham bahasa Georgia –yang digunakan Soso untuk menceritakan dongengnya itu, atau mungkin karena merasa berbeda. Jumlah orang Armenia yang bekerja di pabrik itu juga rasanya makin banyak, entah kenapa. Denger-denger sih karena mereka mau dibayar lebih murah daripada pekerja orang Georgia.

Dan, di antara sekian banyak pekerja anak itu, ada satu anak yang sedikit berbeda, karena dia keturunan Turki, panggilannya Bulac. Ia tidak berbahasa Georgia, dan tak bisa pula berbahasa Rusia. Bapaknya juga kerja di situ, sudah lebih lama daripada dia. Anak itu, yang berkulit lebih gelap dibanding yang lain dengan kelopak mata seperti tertarik ke dalam tengkoraknya, sering ikutan duduk di antara para pendengar dongen Soso. Tapi ia tak pernah tersenyum, tertawa, atau bertanya seperti yang lain. Hanya duduk dan mendengar sambil menikmati makan siang yang itu-itu saja; roti lavashi yang tipis, labio[1], adjika,[2]sesekali telur; tak pernah ikan apalagi daging. Potongan daging, kadang ditemukan kecil-kecil di dalam labio, itu aja.

Sementara itu, pelajaran bahasa Rusia-nya sudah jauh berkembang. Bukan cuma membaca ejaan ‘ini Budi atau ini ibu Budi,’ Soso malah sudah membaca teks-teks panjang dengan lancar. Dari segi bahasanya, untuk percakapan sehari-hari, bahasa Rusia Soso sudah lebih dari cukup. Kalau ia menguping orang Rusia bercakap-cakap, ia sudah bisa memahaminya. Hanya perbendaharaan kata saja yang harus ditambah, dan tentu saja pengucapan kata-kata tertentu yang harus disesuaikan.

Pak Dmytro sampai nggak tahu lagi apa yang harus diajarkan pada Soso. “Sudah berhenti saja So… kau belajar nambah kosa-kata sendiri lah…” kata Pak Dmytro.

Soso juga merasa begitu, tapi kalau ia berhenti belajar di tempat Pak Dmytro, ia jadi nggak punya alasan untuk sering-sering ketemu Irena dong…

“Mmm, kalau begitu ajari saya membaca dan menulis Latin…” kata Soso.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline