Alkisah, sekira satu abad yang lalu di wilayah Asia Kecil, tak jauh dari sebuah sungai yang bermuara di Laut Kaspia,[1] lahirlah seorang anak lelaki yang kelak sepak terjangnya akan mengubah wajah dunia, dan namanya akan terus tercatat dalam ingatan paling pahit peradaban manusia.
Waktu brojol, bapaknya, Vissarion, yang di kampungnya dikenal dengan panggilan 'Pak Beso' langsung memberinya nama yang panjang, Joseph Vissarionovich Djugashvili. Karena namanya panjang, maka ia harus punya panggilan. Nggak mungkin banget kan kalo ada temennya manggil ngajak main dengan nama panjangnya, "Joseeeeph Vissarionoviiiich Djugashviliiiii, main yuuuuk..." tuh kan.
Mulanya bapaknya mau ngasih nama panggilan 'Jos' tapi kesannya saru dan juga takut dimintai lisensi oleh produk minuman energi. Mau dipanggil 'Seph' takut dikira orang Sunda, nanti dikira namanya Aseph. Dipanggil 'Vis' juga nggak genah, dipanggil 'Vich' susah, dipanggil 'Djug' nggak nendang, dan dipanggil 'Villi' takut disangka palsu kayak Milli Vanili. Ya sudah, akhirnya Pak Beso memberinya panggilan 'Soso' yang artinya kurang lebih sama dengan Ujang, Otong, Aco, atau Tole.
Ibunya sendiri ingin memberinya nama 'Gilotsavt' alias 'Slamet.' Maklum, dari empat kali Ekaterina alias Mak Keke melahirkan dalam empat tahun belakangan ini, hanya anak keempatnya ini yang selamat. Itupun, yaah, dengan kondisi yang sangat mengkhawatirkan. Sudah bentuknya agak-agak nyeleneh, kupingnya kurang simetris, dan yang paling terlihat adalah jari kedua dan ketiga kaki kirinya berdempet.
itu wajar jika Mak Keke mau memberinya nama 'Slamet.' Tapi Pak Beso melarangnya, "Nggak, masak anak kita dipanggil Slamet, ndeso banget!" protesnya. Mak Keke diem aja, daripada ribut sama suaminya, mendingan dia diem-diem aja memanggil anaknya itu dengan panggilan yang disukainya.
Soso lahir di sebuah desa di Gori, Georgia.[2] Di dekat rumahnya, ada sebuah sungai, yakni Sungai Kura.[] Di sungai itulah ibunya sering menghabiskan waktu untuk mencuci pakaian para tetangganya yang umumnya bekerja sebagai pedagang. Mak Keke emang terpaksa bekerja sebagai tukang cuci, soalnya, kalo nggak gitu mereka bisa-bisa nggak pada makan. Pekerjaan Pak Beso nggak bisa diandelin.
Aslinya sih, Pak Beso itu pembuat sepatu, tapi belakangan ini sepatu buatan Pak Beso kalah bersaing dengan produk impor, "Susah jualan sepatu sekarang, orang-orang demennya pake sepatu kulit domba, made in Cibaduyut. Sepatu gue kagak laku sekarang..." katanya pada Mak Keke, padahal sih aslinya, Pak Beso ini males abis.
Baca juga : Biografi, Buku yang Sangat Saya Sukai, Mengapa?
Kerjaannya kalo nggak ngorok ya mabok. Makanya, meski Mak Keke badannya kerempeng, beberapa kali ia mendamprat Pak Beso kalo pulang ke rumah dalam keadaan teler.
Gimana order sepatu Pak Beso nggak turun drastis, kalo ada pesenan sepatu, Pak Beso membuatnya sambil teler nenggak anggur. Jadinya banyak konsumennya yang komplen, ada yang dibikinin sepatu kembar alias kanan semua, ada yang kirinya lebih gede dari yang kanan, ada yang solnya beda bahan, ada yang sebelah pake tali yang sebelahnya lagi pake kancing, malah ada yang sebelahnya sepatu boot sebelahnya lagi sepatu kuda.
Pokoknya ngaco abis. Celakanya, kalo dikomplen, bukannya ganti rugi yang didapat konsumen, malah ganti bengkak wajahnya dihajar Pak Beso yang kalo udah teler suka nggak inget utara-selatan, apalagi kalo ditanyai arah barat laut agak ke utara dikit, pasti dia bingung.
Kampung kelahiran Soso emang surganya para pemabok, begitu kata orang gede bilang. Soalnya di situ banyak perkebunan anggur yang menghasilkan minuman keras. Jadi harganya emang cukup miring. Pak Beso aja yang penghasilannya senen-kemis, masih sering mampu beli minuman, tapi buat beliin makanan anak bininya, dia nggak mampu.