Lihat ke Halaman Asli

Alip Yog Kunandar

TERVERIFIKASI

Bukan Pemikir, Meski Banyak yang Dipikirin

Pemberdayaan Dukun Santet

Diperbarui: 24 Juni 2015   20:07

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Kayaknya masuk akal juga ya....” kata Mang Odon sambil melirik Mang Aso yang sedang sama-sama menyaksikan acara TV yang membahas soal kemungkinan pelaku santet dijerat dengan undang-undang dan KUHP. Ada Prof Muladi dan Prof. Ronny Nitibaskara yang menjadi pembicaranya. Mereka setuju dan mendorong lahirnya undang-undang itu. “Kalau tukang santet itu dibiarkan, mereka bisa merajalela, kasian masyarakat yang jadi korbannya...” lanjut Mang Odon.

“Banyak kasus-kasus aneh yang terjadi di masyarakat, orang perutnya penuh dengan paku dan silet... dan itu tidak bisa diselesaikan secara hukum, padahal orangnya menderita, dan ada juga orang yang mengaku-ngaku bisa nyantet, entah bener apa enggak...” kata Mang Odon lagi. “Tapi gimana membedakan antara tukang santet beneran degan tukang santet yang ngaku-ngaku? Jangan-jangan nanti yang bukan tukang santet beneran malah dihukum berat, sementara yang tukang santet beneran lolos dari hukum. Memangnya ada ahli hukum yang bisa membedakan mana tukang santet beneran dengan mana penipu yang ngaku-ngaku bisa nyantet?” tanya Mang Aso.

“Nah itu yang susah...” kata Mang Odon, “Sebetulnya ide atau tujuan aturan ini bagus, mengurangi keresahan masyarakat yang masih percaya dan juga masih banyak melakukan atau menjadi korban praktek ini. Tapi ya itu, gimana membuktikannya... jangan-jangan nanti malah banyak orang yang jadi korban pitnah, dituduh dukun santet, diadili, dipenjara, padahal dia bukan dukun santet...” lanjutnya.

“Memangnya harus sampe dibuatkan undang-undang sama KUHP-nya ya? Ngaturnya gimana tuh? Pembuktiannya? Apa juga bakal ada kesaksian tim ahli atau ahli porensik santet?” Kabayan ikutan nanya, langsung segambreng pertanyaannya.

“Saya mah malah jadi takut kalau undang-undang ini jadi Mang.. ya persis kata Mang Odon tadi, takutnya malah dimanpaatkan untuk menebar pitnah.. nah masyarakat kita kan kalo sudah termakan pitnah gampang emosian, main hakim-hakiman sendiri...” kata Mang Aso. “Bayangkan, copet sama maling saja yang bisa dibuktikan benar atau tidak kelakuannya oleh penegak hukum, sudah langsung dihakimi ditempat. Apalagi tukang santet yang susah dibuktikan.. nah daripada nggak bisa dibuktikan di pengadilan kan akhirnya malah banyak masyarakat yang membuktikan kesaktiannya di lapangan...” lanjutnya.

“Maksud menguji kesaktiannya?” tanya Mang Odon. “Ya kata orang, untuk membuktikan seseorang itu dukun santet atau bukan, gebuki saja, kalau benjol dan berdarah, berarti dia bukan dukun santet, karena nggak sakti.. tapi kalo orang itu digebuki nggak berdarah juga nggak benjol-benjol acan, berarti dia memang sakti dan kemungkinan bener kalo dia dukun santet!” jawab Mang Aso.

“Bagus juga metodenya tuh, patut dicoba!” kata Kabayan. Mang Aso langsung mendelik, “Bagus bagaimana? Nah kalo orang biasa gimana? Sudah nggak salah, benjol dan berdarah pula gara-gara digebuki dulu... kasian atuh!” sewotnya.

Kabayan nyengir, “Terus ada nggak cara lain buat membedakan antara tukang santet beneran dengan yang bohongan atau bukan tukang santet selain dengan cara digebuki dulu?” tanyanya. Kali ini Mang Odon yang menjawab, “Ya kalau ada caranya mah, pasti lebih mudah pembuktiannya, jadi undang-udang itu bisa segera disahkan atuh...”

“Bener Mang, saya juga setuju bahwa tujuan dari usulan undang-undang ini bagus. Percaya nggak percaya praktek santet dan perdukunan teh ada di negeri kita.. tapi ya itu, cara pembuktiannya harus bener dulu, jangan sampai nanti malah jadi banyak orang korban pitnah...” kata Mang Aso.

“Iya...” timpal Mang Odon, “tapi persoalan di negeri kita mah bukan soal sulit atau gampangnya membuat undang-undang atau tata cara pembuktian, mau pembuktian biasa maupun pembuktian yang jungkir balik (maksudnya pembuktian terbalik), tapi yang susah itu pelaksanaan undang-undang dan aturan itu. Orang yang sudah terbukti bersalah, korupsi, bisa dibuktikan, banyak saksinya... toh masih banyak yang lolos, malah habis itu masih bisa dapet jabatan lagi...” lanjut Mang Odon.

“Kalau begitu, saya punya usul...” kata Kabayan, “Gimana kalau tukang santet itu nggak usah dijerat undang-undang atau dipidanakan, tapi dipelihara oleh negara...” katanya. Mang Odon dan Mang Aso langsung melotot ke arah Kabayan, “Masak tukang santet dipiara, buat apa?” tanya Mang Aso.

“Yaaa buat nyantet orang-orang yang sudah terbukti bersalah atau korupsi, tapi masih bebas berkeliaran.. termasuk menyantet orang-orang kuat yang melindunginya... santet mereka supaya hanya doyan makan daun, santet supaya hobi membersihkan sampah... bagus kan, memberdayakan tukang santet sekaligus memperbanyak pekerja sosial...” jawab Kabayan.

Mang Aso dan Mang Odon saling melirik, “Kalau mempidanakan santet itu bisa dianggap masuk akal, maka usulan si Kabayan juga harusnya masuk akal Mang...” kata Mang Aso pada Mang Odon....

Jogja, 5 Desember 2012

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline