Lihat ke Halaman Asli

Alip Yog Kunandar

TERVERIFIKASI

Bukan Pemikir, Meski Banyak yang Dipikirin

Kita Terbiasa Membedakan

Diperbarui: 24 Juni 2015   22:04

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humor. Sumber ilustrasi: PEXELS/Gratisography

“Anak-anak tawuran, mahasiswa tawuran, warga tawuran, polisi dan tentara juga sering tawuran. Ada apa ini?” tanya Mang Ubed yang jadi moderator acara Diskusi Bulanan Pemirsa TV Pos Ronda Cibangkonol (PT-PRC) pada narasumber diskusi malam itu, Kabayan dan Mang Suha. Gaya bertanyanya sudah kayak para pembawa acara talkshow di TV yang kalo dihitung-hitung lebih banyak dia yang berpendapat ketimbang narasumbernya. Bener aja, baru saja Kabayan mangap mau menjawab, dia sudah melanjutkan pertanyaannya. “Ada apa dengan moral bangsa ini, di mana Pancasila yang dulu diangungkan itu?

Kabayan sudah mangap mau menjawab, Mang Ubed sudah nanya lagi, “Jadi siapa yang harus bertanggungjawab, siapa yang salah dalam penomena ini?” tanyanya. Kabayan manyun, “Yang harus tanggungjawab mah ya yang berbuat, dan yang salah sudah ditangkap polisi..” jawab Kabayan asal, karena jengkel. “Maksudnya?” tanya Mang Ubed lagi. “Ya soal maksud, tanya sama yang berbuat, kenapa dia melakukan kesalahan...” jawab Kabayan lagi.

“Maksud saya, apa yang Anda maksud dengan yang berbuat harus bertanggungjawab, dan yang salah sudah ditangkap polisi?” tanya Mang Ubed lagi. “Ya iyalah, masak yang nggak berbuat harus bertanggungjawab. Misalnya Bi Odah hamil, nah kan Anda yang berbuat sebagai suaminya, jadi Anda yang harus bertanggungjawab membiayai kelahirannya dan menghidupi anaknya nanti...” jawab Kabayan lagi sambil ikutan ber-Anda-Anda.

“Yeeh, maksud saya, dalam hal tawuran..” kata Mang Ubed, sebel. “Makanya, nanya satu-satu, saya sebagai narasumber jadi bingung mau jawab yang mana dulu, jangan nyerocos terus...” kata Kabayan. Mang Ubed nyengir, “Oke, kita kembali ke topik diskusi kita kali ini, soal tawuran, menurut Anda apa penyebab maraknya tawuran sekarang?” tanya Mang Ubed lagi, dengan pertanyaan yang lebih singkat.

“Naah gitu dong...” kata Kabayan, “Menurut saya, penyebab tawuran itu adalah karena emosi...” lanjut Kabayan, tapi sudah dipotong lagi oleh Mang Ubed, “Ya semua juga tau, orang yang tawuran itu emosian, penyebab emosi itu apa?” tanyanya. Kabayan mendelik, “Tuh kan, saya belum selesai menjawab, sudah ditanya lagi! Sabar atuh, acara ini nggak pake durasi, mau sampe subuh juga nggak ada yang larang, nggak kayak toksow di tipi yang gurung-gusuh (terburu-buru) karena dibatasi waktu dan pabeulit (belibet) sama iklan!” kata Kabayan, sebel.

“Oh iya, maap. Silakan dilanjutkan...” kata Mang Ubed. “Ya itu, penyebab tawuran itu karena emosi, emosi yang nggak bisa dikendalikan...” kata Kabayan yang langsung dipotong lagi oleh Mang Ubed, “Terus bagaimana bisa mengendalikan emosi itu?” tanyanya. Kabayan diem. Mang Ubed bertanya lagi, “Bagaimana Pak Kabayan?” tanyanya sambil menatap Kabayan, tatapannya persis pembawa acara yang merasa lebih hebat karena bisa memojokkan atau mementahkan pendapat narasumber.

Kabayan menghela nafas, “Sodara Pembawa Acara yang terhormat, kalau omongan saya dipotong terus, lama-lama saya jadi emosi, dan kalo saya sudah tidak bisa mengendalikan lagi emosi saya, diskusi malam ini mengenai penyebab tawuran bisa berakhir dengan tawuran juga. Ni Kopi di depan saya masih panas, jangan membuat saya menyiramkannya ke wajah Anda ya!” ancam Kabayan. Penonton bersorak, mendukung Kabayan. Mang Ubed nyengir, “Maaf, silakan lanjutkan analisis Anda!” katanya.

“Kalau ada pertanyaan motong lagi, saya berhenti jadi narasumber ya! Rugi, dibayar enggak, yang ada malah jadi darah tinggi!” kata Kabayan sambil menatap Mang Ubed. Mang Ubed mengangguk. “Oke, sekali lagi, menurut saya sebagai pengamat tawuran –termasuk mengamati tawuran pendapat di acara toksow tipi yang sama-sama nggak mau kalah itu—penyebab tawuran adalah karena masalah pada manajemen emosi. Manusia itu dibekali oleh emosi oleh Sang Pencipta, tapi itu harus dikelola dengan baik, emosi itu harus disalurkan supaya tidak menjadi negatip. Nah, sekarang itu, rangsangan untuk meningkatkan emosi ke arah yang negatip semakin banyak, misalnya tuntutan dapur, stres karena tekanan hidup, masalah sosial yang menumpuk dan tidak bisa diselesaikan, dan lain sebagainya...”

Mang Ubed sudah mau motong lagi, tapi nggak jadi karena Kabayan keburu mendelik, akhirnya ia diem dan Kabayan melanjutkan omongannya, “Selain karena banyaknya persoalan yang menumpuk, baik secara indipidu maupun sosial, penyebab tawuran itu biasa juga karena pendidikan lingkungan yang selalu melihat segala sesuatu sebagai perbedaan. Misalnya, orangtua mengajari anaknya jangan bergaul dengan orang miskin atau orang kaya, ‘mereka kan orang kaya’ jangan gaul sama mereka lah, nanti kamu ikutan minta mainan yang mahal, kita kan miskin’ misalnya. Atau melihat orang atau kelompok lain karena perbedaan agama, perbedaan pekerjaan, perbedaan suku, dan beda-beda yang lain. Nah, perbedaan yang seharusnya menjadi berkah dalam kehidupan itu, akhirnya menjadi musibah karena yang dimunculkan adalah perbedaannya, bukan hikmah dari perbedaan itu...” lanjut Kabayan sambil menengok Mang Ubed, “Nggak nanya lagi?” tanyanya.

Mang Ubed menggeleng. “Nanya atuh, saya mau minum dulu...” kata Kabayan. Tapi Mang Ubed keburu bingung mau nanya apa, “Minum aja dulu, terus lanjutkan analisisnya, saya mau iklan dulu!” katanya. Kabayan pun menyeruput dulu kopinya, sementara Mang Ubed melirik pada penonton, “Acara ini disponsori oleh warung kopi Bi Mimin yang menyediakan berbagai jenis kopi dan gorengan. Untuk berbagai keperluan sehari-hari, silakan hubungi Warung Bi Mimin dengan alamat pojokan stamplat Cibangkonol. Kita lanjutkan acara diskusi kita, silakan Pak Kabayan...” katanya sambil melirik Kabayan lagi.

“Baik, sampai di mana tadi?” Kabayan melirik Mang Ubed. Mang Ubed garuk-garuk kepala, “Mmm sampe memupuk perbedaan kayaknya...” jawabnya. Kabayan mengangguk, “Nah itu. Karena sudah terbiasa membedakan, maka ketika ada masalah muncul, yang terlihat adalah perbedaannya, bukan persamaan. Tawuran pelajar misalnya, yang muncul adalah persoalan beda almamater, bukan persamaan bahwa mereka sama-sama pelajar yang sebenarnya punya tugas yang sama, belajar. Tawuran warga juga, yang terlihat adalah perbedaan warga sini dan warga sana, persamaan bahwa mereka sama-sama hidup di negara ini tidak lagi terlihat. Belum lagi kalau ditambahi dengan berbagai stigma negatip pada kelompok lain, misalnya ‘warga pendatang perebut lahan’ atau ‘anak sekolah begajulan’ dan lain sebagainya, kebencian karena perbedaan itu makin kuat. Kesamaan tak lagi terlihat. Lalu ada pihak yang memanpaatkan perbedaan itu sebagai bahan bakar konplik. Ya sudah...”

Mang Ubed mengangguk-angguk, “Terus?” tanyanya. “Terus, pihak yang seharusnya bisa meredam konplik, pihak keamanan misalnya, seringkali tidak bisa menyelesaikan akar konpliknya, hanya penyelesaian di permukaan. Jadinya, kalau ada pemicu, ya bisa tawuran lagi. celakanya, pihak yang seharusnya menjadi penengah dan penyelesai konplik ini seringkali memihak pada satu kubu, yang bisa menjadi pemicu konplik tambahan...” lanjut Kabayan.

“Terus?” tanya Mang Ubed lagi. Kabayan melirik, “Kok saya terus yang ditanyai. Tanyain tuh Mang Suha sebagai pengamat bidang keamanan, honornya sama cuma secangkir kopi sama gorengan sepiring, masak saya terus yang ditanyai!” kata Kabayan sebel. Mang Ubed nyengir, lalu melirik Mang Suha yang sudah menguap dari tadi karena dicuekin, “Bagaimana dari sudut pandang keamanan?” tanya Mang Ubed pada Mang Suha.

Mang Suha bengong, bingung nyari jawaban, “No komen ah, jawabannya sudah diambil Pak Kabayan semua, sebagai pengamat keamanan sekaligus hansip di sini, saya mah mengamankan saja lah, supaya diskusi ini nggak jadi ajang tawuran!” jawab Mang Suha.

Mang Ubed garuk-garuk kepala. Penonton pun bubar, tinggal Bi Mimin yang misuh-misuh, nyesel sudah menyeponsori diskusi yang berujung nggak jelas itu.

Jogja, 02 November 2012

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline