Lihat ke Halaman Asli

Alip Yog Kunandar

TERVERIFIKASI

Bukan Pemikir, Meski Banyak yang Dipikirin

Belajar Mengkritik dan Dikritik

Diperbarui: 25 Juni 2015   00:59

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

“Perasaan kalau kita ngumpul terus nyimak berita, pasti ada saja yang kita kritik, pemerintahan yang lamban lah, polisi yang nggak bener lah, pejabat yng korup lah, pengacara yang asbun lah, media yang berat sebelah lah, ustad yang ngartis lah... tapi kok kita nggak pernah saling mengkritik di antara kita sendiri ya?” tanya Mang Juned waktu kumpul-kumpul anggota perkumpulan Pemirsa TV Pos Ronda Cibangkonol (PT-PRC) di markas besar mereka, pos ronda yang punya fasilitas pesawat TV.

“Yaa itu karena kita nggak pernah diberitakan. Kenapa nggak diberitakan karena kita bukan orang yang pas untuk dijadikan sumber berita. Kita juga bukan pelaku peristiwa yang layak diberitakan. Kita juga bukan orang penting yang segala tindakan kita bisa dijadikan berita...” jawab Mang Ubed. “Coba misalnya kamu jadi wartawan. Apa perlunya misalnya, nanyain Kang Kabayan? Kang Kabayan salah omong, wajar saja, sekolah juga nggak tinggi-tinggi amat, nggak punya kuasa, dan salah omongnya nggak pengaruh buat apa-apa dan siapa-siapa. Kang Kabayan salah bertindak, ya kebijakannya nggak ngaruh sama siapa-siapa, paling istrinya saja yang marah-marah...” lanjut Mang Ubed.

Kabayan yang dijadikan contoh, manyun. “Kok saya yang dijadikan contoh sih Mang?” protesnya. Mang Ubed nyengir, “Kan cuma contoh Yan. Intinya kan kita ini nggak punya apa-apa buat dijadikan berita. Kalau kata ilmu jurnalisme, kita ini nggak punya nilai berita. Lagian kan, kurang kerjaan banget kalau kita tiap hari mengkritik Kang Kabayan, yang ada nanti malah kita berantem sendiri karena Kang Kabayan malah jadi tersinggung...” jawab Mang Ubed.

“Lah terus apa gunanya kita mengkritik apa yang kita tonton di tipi itu?” tanya Mang Odon yang ikut dalam pertemuan itu. “Pan kritikan kita nggak didengar sama orang-orang atau pihak-pihak yang kita kritik. Berarti kan cuma buang-buang waktu dan tenaga saja, sama bikin emosi saja...” lanjutnya.

“Ya itu, salah satu gunanya mengkritik ya buat melampiaskan emosi...” jawab Mang Juned. “Kalau kita sebel sama presiden terus kita mengkritik dia, minimal kan kita sudah melampiaskan emosi dengan cara yang bener. Daripada kita datang ke Jakarta terus mendemonya? Sudah berat di ongkos, kritikan kita sama-sama nggak didenger, malah bisa-bisa urusan sama paspampres...” sambungnya.

“Kalau cuma pelampiasan emosi mah, saya biasanya mukulin batang pohon pisang, Jun. Misalnya saya sebel sama siapa, saya anggap saja pohon pisang itu dia, terus saya pukulin.. kan lumayan, emosi bisa disalurkan, tangan juga nggak sakit...” kata Mang Odon. “Kalau ngritik mah nggak puas rasanya...”

“Nah itu yang salah...” kata Kabayan, “Ceuk (kata) saya mah mengkritik itu harus dibedakan dengan emosi dan benci. Kalau misalnya kita mengkritik Mang Ubed, itu kan bukan berarti kita benci sama dia. Malah sebaliknya, itu tandanya kita sayang sama Mang Ubed. Supaya Mang Ubed nggak melakukan kesalahan lagi, kita kritik, jadi Mang Ubed tahu kesalahannya dan tidak mengulanginya lagi. Kalau Mang Ubed membuat kelakuan  yang bodoh, terus kita kritik, Mang Ubed kan jadi tau kalau dia sudah melakukan kebodohan, jadi nanti dia tidak mengulanginya lagi...” kata Kabayan panjang lebar.

Mang Ubed manyun, “Kok saya yang dijadikan contoh sih Yan?” protesnya. Kabayan nyengir, “Kan cuma contoh Mang...” jawabnya. Mang Ubed nyengir pait. “Kalau kita mengkritik Mang Odon sebagai presiden, itu tandanya kita ingin Presiden Odon membuat kebijakan yang peka terhadap aspirasi rakyat, bukan berarti benci kan?” lanjut Kabayan.

Mang Ubed protes lagi, “Kok giliran contoh presiden malah Mang Odon, bukan saya?” tanyanya. Kabayan nyengir, “Laah lucu aja kali, kalau presiden kita namanya Odon se-odon-odonnya...” jawabnya. Mang Odon sendiri tersenyum lebar, “Iya lah, sok saya mau kalau dijadikan contoh jadi presiden..” katanya. “Nah itu, kalau kita mengkritik Presiden Odon, selain harus peka sama aspirasi rakyat, dia juga harus introspeksi diri, sudah bener nggak dia kerjanya sebagai presiden, atau jangan-jangan dia memang nggak pantes jadi presiden, makanya nggak usah maksa jadi presiden lagi...” lanjut Kabayan.

“Kok nggak enak ujungnya Yan?” protes Mang Odon. “Namanya juga contoh...” kali ini yang menjawab Mang Ubed, “Terus gunanya bagi yang mengkritik?” tanyanya pada Kabayan. “Ketika kita mengkritisi sesuatu atau memberi kritik pada orang, harusnya kita juga belajar dari kritik yang kita sampaikan itu. Misalnya, Mang Ubed mengkritik Presiden Odon itu tidak peka pada aspirasi rakyat. Nah, mestinya Mang Ubed juga bertanya pada diri sendiri, sudah peka juga nggak pada aspirasi orang lain, misalnya pada aspirasi anak sama istrinya. Jadi jangan mengkritik Presiden Odon nggak aspiatip, tapi aspirasi anak dan istrinya di rumah juga nggak pernah didengerin...” kata Kabayan lagi.

Mang Juned mengangguk-angguk, “Setuju saya. Waktu kita mengkritik seseorang, kita mestinya sudah tidak pada posisi yang dikritisi itu. Mengkritik orang nggak peka, artinya harus pada saat kita juga sudah peka... setuju pisan lah...” katanya. “Jadi antara yang dikritik sama yang mengkritik sama-sama belajar ya, sama-sama memperbaiki diri, bukan sama-sama membenci...” sambungnya.

“Betul!” kata Kabayan. “Ngomong-ngomong, pertemuan sekarang kita mau mengkritisi berita atau tayangan apa di tipi?” tanya Mang Odon pada Mang Juned yang diangkat jadi koordinator sementara PT-PRC.

“Bosen ah mengkritisi terus berita sama tayangan tipi, sekali-kali kita mengkritisi kita sendiri, sebagai rakyat dan sebagai penonton...” kata Kabayan. Mang Odon bengong, “Bagaimana caranya mengkritisi kita sendiri?” tanya Mang Odon. “Yaa harus bisa, bagaimana lah caranya. Masak kita nggak bisa mengkritisi kita sendiri, biar sekali-kali kita merasakan posisi sebagai pihak yang dikritisi...” kata Kabayan.

“Kalau gitu, saya mau mengkritik kamu sebagai penonton tipi Yan...” kata Mang Ubed. “Kalau  kamu nonton tipi di sini, jangan makan jengkol sama pete dulu lah, kalo nguap baunya kemana-mana...” sambungnya. Kabayan melotot, “Kalau itu mah bukan kritik Mang, tapi ngajak gelut (berantem). Makan jengkol sama pete kan hak ajasi saya...” katanya.

“Nah, hak ajasi itu kan kalau bau pete sama jengkolmu tidak mengganggu orang lain. Saya nggak larang kamu makan jengkol dan pete terus nonton tipi, tapi tipinya punya sendiri, bukan tipi rame-rame. Itu juga bagian dari kritik kan?” tanya Mang Ubed.

Kabayan bengong lalu mengangguk-angguk, “Iya yah.. ternyata susah belajar menerima kritikan...” katanya.

Jogja, 03 September 2012

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline