Lihat ke Halaman Asli

Alip Yog Kunandar

TERVERIFIKASI

Bukan Pemikir, Meski Banyak yang Dipikirin

908 Korban Mudik, Terlalu!

Diperbarui: 25 Juni 2015   01:14

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Baru buka lagi nih Mas?” tanya Kabayan pada Mas Jono waktu mampir di warung baksonya di dekat terminal Citamiang. Kabayan sudah beberapa kali mampir di warung itu untuk memenuhi pesanan si Iteung yang entah kenapa pesen bakso terus jika ia pulang dari kota sehabis menjual hasil taninya, tapi warung bakso itu belum buka juga. “Iya Kang, baru balik dari Solo, mudik lebaran...” jawab Mas Jono sambil merapikan bangku dan mempersilakan Kabayan duduk. “Bungkus tiga, Mas, biasa, komplit...” kata Kabayan sambil duduk, “Betah banget di kampung Mas, sampe lama buka lagi?” tanya Kabayan.

Mas Jono menjawab sambil mengerjakan pesanan Kabayan, “Sengaja Kang saya mudik lebih cepat dan balik lebih lambat, biar nggak terlalu macet di jalan. Ngeri soalnya kalo ikut macet-macetan di jalan, musim mudik sekarang mobil banyak banget, sampe jalan penuh semua, belum lagi motor, waah wis koyok laron Kang, banyak buanget...” cerita Mas Jono. “Lah Mas Jono sendiri mudik pake apa?” tanya Kabayan. “Biasa Kang, naik motor, kayak tahun-tahun lalu..” jawabnya. “Sendirian?” tanya Kabayan lagi. “Ya rombongan Kang, saya sama istri dan bocah dua...” jawab Mas Jono lagi sambil menuangkan kuah bakso ke dalam plastik.

“Kata pemerintah, mudik naik motor kan nggak aman Mas, apalagi sampe boncengan begitu...” kata Kabayan. “Nggak usah diomongin juga semua sudah tau Kang, kalo perjalanan jauh pake motor itu bahaya, apalagi saat musim mudik kayak gini, karena jalanan tambah rame, perjalanan jadi lebih lama, badan cepet capek... Tapi mau apa lagi, pilihan kita nggak banyak Kang, naik bus penuh, ongkosnya naik. Naik kereta sama saja. Belum lagi perjalanan dari terminal atau stasiun ke kampung, kan perlu ongkos lagi, mau naik apa juga...” jawab Mas Jono. “Kan banyak pasilitas mudik gratis Mas, kenapa nggak dimanpaatkan, misalnya Mas Jono dinaikkin bis, motornya diangkut pake truk. Atau motornya diangkut pake kapal perang...” kata Kabayan.

“Itu kan para pemudik dari Jakarta Kang, sementara kita yang nggak di Jakarta, mau mudik tambah susah. Nggak ada yang ngurusin dan merhatiin kita di sini, di kota-kota yang ada di tengah, bukan kota gede. Program mudik nggak ada, mau naik bus sudah keburu penuh dari Jakarta. Mau naik kereta tiketnya keburu habis. Mau naik apalagi? Pesawat nggak ada, kapal laut nggak ada. Ya sudah, pilihannya ya naik motor. Mau disalahkan juga kita kalo naik motor?” Mas Jono bertanya sambil melirik Kabayan.

Kabayan diam, merenungi omongan Mas Jono. Bener juga sih, yang mudik itu bukan hanya yang ngumbara (merantau) di Jakarta dan kota-kota besar saja. Sekarang kota-kota kecil juga sudah saling bertukar perantau. Orang Garut merantau di Sragen. Orang Blitar merantau di Sukabumi. Macem-macem. Dan itu bukan karena pekerjaan saja, tapi juga karena jodoh dan sebagainya. Mereka juga berhak mudik, meski nggak banyak yang ngurusin dan memperhatikan, padahal mereka ikut nyumbang buat kemajuan negara, memperkokoh persatuan, ikut memajukan ekonomi sebuah daerah, nggak ikut menuh-menuhin ibukota...

“Pemerintah itu mestine nggak cuma melarang mudik pake motor, tapi juga memikirkan alternatifnya, dan nggak cuma mikirin yang di Jakarta atau kota gede saja, karena sekarang orang sudah nyebar kemana-mana, yang dari timur ke barat, yang dari utara ke selatan, macem-macem...” kata Mas Jono lagi. “Mudik itu hak semua orang, dan nggak boleh dilarang-larang. Orang kan punya akar masing-masing. Biar saya kerja dan cari makan di sini, saya kan tetep orang Sragen Kang, pengen ketemu keluarga di sana, pengen nengok orang tua mumpung masih ada, pengen nyenengin mereka. Dan mudik itu salah satu cara nyenegin mereka, nunjukin kalo kita masih inget, masih peduli. Syukur-syukur bisa nyumbang sesuatu buat orang tua atau buat kampung kita sendiri....” lanjut Mas Jono.

“Tapi kan mudik bukan berarti membahayakan diri sendiri sama keluarga Mas...” kata Kabayan kemudian, “Katanya tahun ini musim mudik banyak korbannya...” sambungnya. “Iya Kang, kata koran, korban musim mudik kali ini 908 orang, hampir seribu.. uedan tenan kan?” Mas Jono menjawab sambil melirik Kabayan. “Bener Mas?” tanya Kabayan. Mas Jono mengangguk. “Yaa sebetulnya memang bukan salah pemerintah semua, para pemudik juga sering abai pada keselamatan diri mereka sendiri, termasuk saya, tapi piye, pilihannya nggak banyak...” kata Mas Jono.

“Iya Mas, susah kalo cuma saling menyalahkan. Pemerintah menyalahkan pemudik, pemudik menyalahkan pemerintah. Nggak bakalan selesai-selesai. Mestinya dua-duanya menyadari posisinya masing-masing. Pemerintah menyediakan dan meningkatkan pasilitas pelayanannya, dan pemudik tidak memaksakan dan membahayakan dirinya sendiri...” kata Kabayan.

“Nah itu, saya setuju...” kata Mas Jono. “Ngomong-ngomong Kang Kabayan nggak mudik?” tanyanya. Kabayan manyun, “Mudik kemana Mas, kampung saya ya di sini...” jawab Kabayan. Mas Jono nyengir.

Jogja, 28 Agustus 2012




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline