Lihat ke Halaman Asli

Alip Yog Kunandar

TERVERIFIKASI

Bukan Pemikir, Meski Banyak yang Dipikirin

Jualan Jazz dan Degung

Diperbarui: 25 Juni 2015   19:51

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hiburan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Dua kali sudah Kabayan diajak Mister Collin nonton konser Jazz. Yang pertama, tahun 2003 waktu Level 42 konser di Jakarta, dan yang kedua, tahun 2010 nonton Java Jazz, juga di Jakarta. 17 Juni 2003 Level 42 datang ke Jakarta dan sejumlah kota lain di Indonesia, tapi pentolan grup yang mencuat tahun 1980-an itu hanya tinggal seorang; Mark King, bassist sekaligus dedengkot supergroup jazz asal Inggris itu. Tiga personel lain Phill Gould (drum), Boon Gould (gitar), dan Mike Lindup (kibor) tak lagi minat melanjutkan karir sejak Level 42 vakum tahun 1994. Mark King kemudian mengajak adiknya Nathan King (gitar), Lyndon J. Connah (kibor), Gary Husband (drum), dan Dean Freeman (saksofon) untuk mempertahankan sisa-sisa kejayaan grup yang sudah menghasilkan 15 album itu.

Kejayaan Level 42 memang tinggal sisa, tetapi gairah jazz funk dengan sentuhan warna fusion yang dikumandangkan Mark King seolah tak ada habisnya. Cabikan bass Mark King, adalah ‘jualan’ utama dalam komposisi lagu-lagu Level 42. Lebih dari itu, Mark King juga menulis sebagian besar lagu-lagu Level 42, dan juga menyanyikannya. Ketika membesut Level 42 generasi dua, Mark King terpaut usia belasan hingga 20 tahunan dengan ‘anak-anak’ baru Level 42. Tapi usia bukan sebuah halangan dalam berkarya. Buktinya, sorotan utama ketika Level 42 manggung, tetap saja tertuju pada Mark yang tampil dengan bass yang gripnya memendarkan cahaya kehijauan seperti scotlight di rompi polisi. Di tangan Mark, bass yang selama ini dikenal sebagai alat musik ‘pelengkap’ justru menjadi sajian dan atraksi utama.

Kali kedua, yang jadi perhatian Kabayan adalah kemasan sebuah konser jazz. Musik yang dulu dianggap ekslusif karena hanya sedikit saja yang bisa ‘memahami’ dan menikmatinya, disajikan dengan format festival –Kabayan sih melihatnya seperti pasar malam—setiap pojokan ada satu panggung dengan satu penampil. Penonton bisa memilih sajian mana yang akan dinikmatinya. Sebetulnya, itu juga nggak jazz-jazz amat, buktinya venue yang ramai malah yang bukan jazz, Santana, George Benson kan nggak jazz, penampil lain juga begitu.

Kabayan jadi inget sama musik-musik tradisional kampungnya, degung, calung, reog, kacapi-suling, angklung, dan lain sebagainya. Hanya angklung saja nampaknya yang sudah go internasional. Bahkan di Java Jazz juga ditampilkan lagi oleh Dwiki Darmawan, dengan menyebutnya ‘angklung jazz.’ Tapi nasib kesenian lain, hampir tragis. Hajatan manten atau sunatan, sudah jarang yang menampilkan degung atau nanggap calung, reog, dkk. Lah, kalau di tempat asalnya sendiri sudah nggak ada yang nanggap, terus mau ditanggap dimana? Mau ditonton siapa?

Nah, setelah diajak nonton Java Jazz itu, Kabayan jadi ngebayangin, gimana kalo dibuat Sunda Festival, Degung Festival, atau apalah namanya. Ada sekian panggung, ada panggung yang menyajikan calung, ada yang nampilin dog-dog, kacapi-suling, de el el. Nggak apa-apa juga ada penampil yang ngepop macam Doel Sumbang atau Hetty Koes Endang, biar jadi daya tarik. Terus penonton bisa menikmatinya sambil duduk ngampar –lesehan—di atas rumput atau tikar, sambil menikmati jajan pasar seperti kulub suuk(kacang rebus), bajigur, bandrek, onde-onde, bubur sumsum, goyobod, sorabi dan semacamnya.

Terus, bakal lebih asyik lagi yang nonton itu adalah bule-bule yang jelas-jelas bukan pemilik asli musik-musik yang ditontonnya, tetapi juga bisa menikmatinya –yaah persis seperti Kabayan yang nonton jazz, kan nggak nyambung banget antara tampang sama musiknya, tapi buktinya Kabayan bias menikmatinya. Kalau jargon ‘musik itu bahasa universal’ bener, pasti nggak hanya berlaku bagi Kabayan yang bias menikmati jazz, sebaliknya, bule-bule sebangsa Mister Collin juga mestinya bisa juga menikmati musik-musik tradisional yang diwariskan leluhur Kabayan.

Dan itu sudah terbukti kok, waktu Kabayan memberi undangan balasan –mengajak Mister Collin—nonton angklung di Saung Udjo, Mister Collin menikmatinya dengan penuh kekaguman. Bahkan, sebelum pulang ke kampung halamannya di Liverpool sana, Mister Collin minta Kabayan mengantarnya ke toko kaset dan memborong CD musik tradisional –yang justru kata penjualnya, CD jenis itu yang beli lebih banyak bule atau orang yang tinggal jauh dari kampung halamannya, sekadar untuk bernostalgia! Sayang banget kan, karya seni seagung itu hanya dijadikan alat nostalgia, nggak jadi industri pop seperti halnya jazz yang sebetulnya tadinya juga musik tradisional!

Kadang, Kabayan merenung, kenapa teori Adorno soal budaya popular tidak berlaku bagi musik tradisional kampung halamannya. Yang pasti bukan ‘salah’ musiknya yang nggak laku dijual, tapi pasti karena orang kitanya yang males ‘menjualnya’ dengan alasan gengsi, atau mungkin alasan-alasan lain yang sebetulnya tak masuk akal.

Jadi, mimpi Kabayan untuk melihat semacam Java Jazz Festival versi musik Sunda –atau musik tradisional manapun dari negeri ini—yang dipentaskan di luar sana dan dinikmati para bule itu, masih jauh dari harapan. Bukan salah bule-bule itu pastinya. Dan kalau kemudian ada orang lain yang mencoba mempopulerkannya, pasti kita ribut melayangkan tuduhan; ‘kesenian kita dicaplok negara lain!’ Padahal, kita sendiri yang tidak open –merawat—budaya kita sendiri!

Jogja, 9 Pebruari 2012




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline