Lihat ke Halaman Asli

Mitos yang Memberi Keseimbangan Alam Merapi

Diperbarui: 17 Juni 2015   13:14

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Sewaktu saya kecil dulu. Ada salah satu tayangan telivisi yang menampilkan Mak Lampir sebagai tokoh utamanya. Perawakannya seram dan tinggal di hutan larangan gunung Merapi. Imajinasi masa kecil saya langsung menuju pada suatu hutan yang seram. Di dalamnya ditinggal segerombolan makhluk yang wujudnya menakutkan. Namun semakin bertambahnya umur. Kengerian terhadap mak lampir dan hutan larangan perlahan hilang.

Tahun 2010 lalu setelah Gunung Merapi meletus hebat, saya diajak oleh salah seorang teman pergi ke Ngargomulyo, Lokasinya 5 kilometer dari puncak Merapi, bisa dikatakan ini merupakan desa terakhir. Sebelum desa yang berada di atasnya tertimbun oleh lahar panas.Di desa ini masyarakat masih menjunjung tinggi kearifan lokal. Bahkan ada peraturan desa mengenai satwa. Bagi siapapun yang “nembak” atau menangkap burung di kawasan hutan Merapi akan diberi hukuman. Kualat. Ya, satu kata itu sudah cukup untuk membuat takut warga.

Sore itu saya beserta teman-teman ngobrol dengan kepala desa Ngargo – begitu kami menyebutnya. Obrolan seputar bagaimana mereka bertahan saat Merapi meletus. Dan nyatanya kami menangkap suatu obrolan menarik. Obrolan yang mengaitkan hubungan antara alam, satwa, dan warga desa. Dengan logat Jawa Muntilan, Pak Yatin – sang kepala desa bercerita tentang bagaimana warga desa sangat menjaga alam tempat mereka tinggal. Penduduk Ngargomulyo setiap harinya hidup, mencari nafkah, bermain, melakukan kegiatan apapun di gunung. Mereka mengambil kayu dari gunung. Namun dibatasi. Mereka tidak mengambil hewan-hewan gunung. Karena dilarang. Hewan-hewan di Merapi dijadikan sebagai alarm alami jika gunung tersebut kembali meletus.Burung, kera ekor panjang, ataupun hewan lain biasanya akan turun jika Merapi meletus. Selagi makhluk-makhluk itu belum turun gunung. Penduduk Ngargo masih merasa bahwa kampung mereka aman.

Obrolan soal hewan-hewan dan hutan berlanjut menjadi obrolan yang sedikit mistis saat ada celetukan soal hutan larangan. Hutan yang selama ini saya anggap hanya mitos itu memang ada nyatanya. Pak Yatin selaku kepala desa pun menganggukkan kepala menyetujui jika ada hutan larangan di kawasan Merapi. Mitosnya, jika kita memasuki hutan tersebut akan ada satu anak kecil yang akan menuntun kita keluar dari hutan. Jika tidak mau, kita akan tersesat selamanya di hutan tersebut. Mitos lain menyebutkan kalau di dalam hutan tersebut memang dihuni oleh Mak Lampir. Namun semua pikirian mistis itu sedikit mulai tergerus saat Pak Yatin – Kepala Desa Ngargo mengemukakan pemikirannya soal hutan larangan.

“Kakek buyut kita itu orang pintar mas, mereka ndak mau kalau cucu-cucunya kesusahan. Makanya dibuat hutan larangan.” Kata Pak Yatin.

Bahkan menurutnya, di dalam hutan larangan itulah tempat habitat asli dari harimau jawa yang dikabarkan punah. Kita diajak untuk ikut menjaga kelestarian Merapi melalui mitos itu. Mengambil seperlunya dan tidak serakah. Mereka benar-benar menjadi tuan rumah wilayah tersebut dengan menjaga baik-baik yang telah diberikan Merapi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline