Lihat ke Halaman Asli

Jejak di Tanah yang Retak

Diperbarui: 11 Oktober 2024   11:01

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber : https://www.freepik.com/

Di sebuah desa terpencil, di kaki pegunungan yang indah, hiduplah seorang wanita bernama Nia. Usianya sudah memasuki kepala lima, tapi semangatnya masih sekuat batu karang yang tak lekang oleh ombak. Nia adalah seorang petani. Selama bertahun-tahun, ia telah menanam padi dan jagung di ladangnya yang luas. Namun, satu hal yang tak bisa ia lawan adalah perubahan iklim yang perlahan-lahan memakan lahan hidupnya.

Beberapa tahun terakhir, cuaca menjadi tak menentu. Musim hujan yang dulu datang tepat waktu kini sering terlambat, dan saat datang pun, hujan turun begitu deras hingga tanah tak sanggup lagi menahannya. Ladang yang dulu subur kini dipenuhi retakan, menganga lebar seperti luka yang tak kunjung sembuh. Sungai kecil yang biasa mengairi sawah Nia sekarang hanya berisi air keruh yang kadang mengering sepenuhnya.

Suatu hari, saat Nia sedang duduk di tepi ladangnya yang kering, ia melihat anaknya, Ardi, pulang dari kota. Ardi telah meninggalkan desa beberapa tahun lalu untuk bekerja di kota besar sebagai teknisi. Ia datang dengan wajah murung, membawa kabar buruk tentang proyek besar yang sedang dibangun di kota: pabrik yang akan memperburuk pencemaran lingkungan. Pabrik itu dijanjikan sebagai solusi untuk meningkatkan ekonomi, namun dengan biaya besar pada lingkungan.

Nia tahu, jika tak ada yang berubah, desanya akan mati. Ladang-ladang akan mengering, sumber air akan hilang, dan generasi penerus seperti Ardi akan meninggalkan tanah mereka selamanya.

Di malam hari, di bawah sinar rembulan yang pucat, Nia berbicara pada Ardi. "Kita tak bisa terus seperti ini. Alam sudah memberi peringatan, tapi kita tetap menutup mata. Apa artinya kekayaan kalau kita tak bisa menghirup udara bersih, minum air jernih, dan makan makanan yang ditanam dengan hati?"

Ardi diam. Ia tahu ibunya benar. Di kota, ia sering melihat bagaimana orang-orang mengejar kemewahan tanpa peduli pada alam. Tapi ia juga tahu bahwa melawan sistem yang begitu besar bukanlah hal mudah. "Apa yang bisa kita lakukan, Bu?" tanyanya pelan.

"Perubahan dimulai dari hal kecil," jawab Nia. "Kita tak bisa mengubah dunia dalam semalam, tapi kita bisa menjaga rumah kita, tanah kita, dan lingkungan kita."

Keesokan harinya, Nia dan Ardi mulai bergerak. Mereka mempelajari cara-cara baru untuk mengolah tanah yang lebih ramah lingkungan, menanam pohon-pohon di sekitar ladang untuk mengembalikan keseimbangan ekosistem. Mereka juga mulai berkampanye di desa-desa sekitar, mengajak petani lain untuk bergabung. "Kita tak bisa hanya mengandalkan pemerintah atau perusahaan besar. Kita harus melindungi tanah kita sendiri," kata Nia dalam setiap pertemuan.

Gerakan kecil ini perlahan-lahan menarik perhatian. Ardi, dengan kemampuannya di bidang teknologi, membantu membuat aplikasi sederhana yang memetakan daerah-daerah yang terkena dampak perubahan iklim. Aplikasi itu memungkinkan petani untuk saling berbagi informasi tentang cara-cara pertanian yang lebih lestari. Desa mereka menjadi contoh, dan semakin banyak orang bergabung dalam perjuangan ini.

Beberapa bulan kemudian, di sebuah acara besar yang diadakan oleh pemerintah daerah, Nia diundang sebagai pembicara. Dengan suara tenang tapi penuh keyakinan, ia berdiri di depan ratusan orang, menceritakan bagaimana ia dan desanya bangkit melawan tantangan. "Kami tidak hanya menyelamatkan lahan kami," katanya, "tapi juga masa depan anak-anak kami. Alam memberi kita hidup, dan sudah saatnya kita memberinya penghormatan yang layak."

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline