Lewat tengah malam. Mataku baru saja bisa terpejam beberapa menit, setelah sebelumnya lelah berkutat di belakang kemudi Estilo putih yang terjebak macet parah di daerah kota. Tiba-tiba saja...
Ke Jakarta, aku kan kembali...
Walaupun apa yang kan terjadi...(*)
Bunyi suara gawai yang sayup-sayup terdengar, mau tak mau membuatku membuka mata. Meskipun dilanda kantuk berat, tetap juga kuangkat telepon tersebut.
"Hm.... Ya, hallo...," sapaku dengan mata terpejam. Hening. Tak ada jawaban apa-apa dari seberang sana. Kuulangi lagi sapaanku. Tetap hening. Dan ketika hendak kututup teleponnya, sebuah suara yang tak asing lagi di telingaku benar-benar berhasil membuatku melek sempurna.
"Di mana lu, Bro? Elu gak nyasar kan? Masih ingat jalan pulang ke kontrakan kan? Jangan bilang lu mo ena-ena dulu. Gue nungguin lu dari isya tadi nih, eh, elunya entah di mana sekarang."
Sabar, sabar. Tahan, tahan. Tarik napas dalam-dalam, kemudian...
"Semprul! Sembarangan banget lu fitnah gue kek itu. Hah?" Aku kesal sekali sama si penelepon. Bayangkan saja, sudahlah tidurku diganggu, eh si dodolipet satu ini enak saja main tuduh sembarangan.
"Astaghfirullah. Istighfar, Bro, istighfar. Lu teriak-teriak kek gitu entar para makhluk di Jeruk Purut pada bangkit semua lho, Bro."
"Bodo amat! Kalo lu nelepon cuma buat gue emosi jiwa, mending gue matiin aja nih telepon. Boros pulsa, tau!"
Hampir saja gawai kumatikan bila saja...