Tanpa terasa, telah sepekan lebih aku berada di kampung halaman Papah. Dan beragam peristiwa pun terjadi di sini. Mulai dari teror orang-orangan sawah--yang hingga detik ini belum menemukan titik terangnya, aksi heboh Mak Icih di atas skateboard milik cucunya sendiri-- yang berakhir dengan nyungsepnya sang nenek di semak-semak sebuah rumah warga, dan yang terakhir... ini dia yang hingga kini masih belum bisa kulupakan, yaitu bertemu dengan bidadari cantik pemilik kucing persia peaknose yang suka tidur di bawah payung berwarna ungu yang tak lain adalah warna favoritnya sang bidadari.
Sedangkan niat awalku berada di sini, apakah itu telah terlaksana dengan baik? Ups. Segera kubekap mulutku dan menggelengkan kepala. Bagaimana bisa aku melupakan niat awalku itu? Padahal itulah yang membawaku hingga kemari. Dan bagaimana pula kalau Papah tiba-tiba menelepon dan menanyakannya? Aduh. Tiba-tiba saja kepalaku pusing memikirkannya.
Bi Isah yang memperhatikanku sejak tadi mulai bertanya. "Aya naon, A? Kok Bibi perhatian dari tadi, A Noval tampak gusar kitu. Aya masalah kantor nya? Aa disuruh balik cepat nya?"
Eh, bukan. Buru-buru aku menggeleng dan melambai-lambaikan tangan. "Bukan, Bi. Sama sekali gak ada yang nyuruh saya balik ke Jakarta kok. Urusan kantor juga aman terkendali, kan ada sekretaris saya yang cekatan menanganinya. Urusan di kontrakan juga beres. Toh saya udah bayar di muka. Cuma satu masalahnya...," Kuhela napas sejenak. Hening menyergap. Bi Isah tampak menunggu kelanjutan omonganku. "Eh, Papah ada menelepon Bibi maupun Mang Subur gak?" tanyaku tiba-tiba. Membuat Bi Isah tampak terkejut, kemudian menggeleng.
"Henteu ah, A. Papahnya A Noval teu aya nelepon Mang Subur. Kalo nelepon Bibi mah gak mungkin atuh. Kan Bibi teu boga hape."
Oh, syukurlah. Berarti tugas negara ini bisa kukerjakan sesampainya aku di Jakarta saja. Toh, ini bukan proyek maha penting yang kudu segera diselesaikan. Lagian, aku sudah merekam dengan video setiap sudut ruangan yang ada di rumah ini. Termasuk kamar tidur, kamar mandi dan juga dapur. Jadi untuk sementara waktu, semua aman terkendali. Seketika aku pun nyengir. Membuat kening Bi Isah berkerut.
***
"Sayur.... Sayuuurrr.... Ibu-ibu, aya sayur segar-segar ieu teh. Ikan hayam, lauk emas, mujair, cumi asin, sagala rupi aya dah pokokna mah. Hayu, merapat ka Mang Madun."
Nah, apalagi ini? Tumben-tumbenan ada tukang sayur keliling di depan rumah Aki. Biasanya--selama sepekan aku di sini, tak pernah sekalipun ada tukang sayur yang lewat. Tapi hari ini? Hm, aku iseng saja mengintipnya dari dalam rumah Aki.
Bi Isah yang melihat kelakuanku hanya berkomentar, "Oh, itu mah Mang Madun. Dia emang punya jadwal khusus lewat sini. Karena emang cuma dia tukang sayur keliling yang ada di desa ini. Jadi, dusun-dusun yang ada di desa ini memiliki jadwal kunjungan Mang Madun masing-masing. Dan sepertinya, giliran dusun ini yang menjadi sasaran kunjungannya."
Eh? Aku sempat terkejut saat mendengar penjelasan Bi Isah barusan. Sungguh tak disangka, tukang sayur keliling pun memiliki strategi pemasaran yang jitu. Dia rela menjemput bola dengan berkeliling ke masing-masing dusun agar setiap dusun dapat merasakan dagangannya. Kebetulan juga dia tak memiliki saingan. Jadi, keuntungan dobel dapat diperolehnya.