Lihat ke Halaman Asli

Alin You

Penyuka fiksi, khususnya cerpen dan novel.

Reuni SMA: Ternyata Masa SMA Saya Sungguh "Eksklusif"

Diperbarui: 18 Oktober 2019   02:58

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber: Kolpri (Koleksi Pribadi)

Dulu, saya selalu beranggapan kalau masa SMA itu adalah masa tersuram dalam hidup saya. Kenapa? Karena, di saat anak-anak seusia saya kala itu atau bahasa kerennya ABG (Anak Baru Gede) asyik menghabiskan masa remajanya dengan bergaul, nongkrong, ngeceng, tebar pesona, ikut bimbingan belajar di luar sekolah, terlibat cinta monyet, lha, saya malah menghabiskan waktu hampir 10 jam setiap harinya--kecuali hari Minggu tentu saja--di sekolah.

Padahal zaman saya sekolah dulu itu sama sekali tidak berlaku yang namanya full day school lho. Cuma lagi apes saja, pemerintah memberlakukan kelas unggul sebagai kelas percontohan di tiap-tiap sekolah negeri, khususnya di Padang, kota tempat saya menghabiskan masa sekolah saya.

Kalau dipikir-pikir, saya juga heran dengan maksud pemerintah memberlakukan kelas unggul di sekolah negeri pada saat itu (saya masuk SMA tahun 1995). Pasalnya, kriteria untuk bisa masuk kelas unggul itu hanya dilihat dari NEM (Nilai Ebtanas Murni) semata. Lha, kok? Heuheu, plis atuh lah. Jangan tanya saya kenapa bisa begitu. Coz saya hanya menjalani saja, tanpa tahu apa yang melatarbelakangi kebijakan tersebut. Ya anggap saja saya ini sebagai salah satu kelinci percobaan pemerintah saat itu. 

Dan selama masa percobaan itu--alhamdulillah, saya masuk kelas unggul itu selama tiga tahun alias selama masa SMA, ternyata saya bisa melewatinya dengan selamat sentosa, sehat walafiat, hingga tiba waktu kelulusan. Fiuh. 

Tak mudah memang untuk menjadi anak (yang terdampar dalam) kelas unggul itu. Kenapa? Karena setiap pembagian raport per Cawu (Catur Wulan atau empat bulan sekali) itu, kita betul-betul dievaluasi dan diseleksi ulang. Masih bisakah kita berada di dalam kelas unggul atau harus rela didepak keluar? Hm... terlihat sadis ya? Ah, gak juga. Buktinya, tak sedikit teman-teman yang akhirnya dapat bernapas lega setelah didepak dari kelas unggul. 

Bahkan, mereka yang sebelumnya berada di kelas biasa saja, karena nilai mereka bagus atawa juara kelas, maka mereka kudu wajib harus masuk kelas unggul, tapi mereka menolaknya. Hahaha... Kenapa coba? Ya iyalah, mereka tak bakalan tahan juga keules, tiap hari kudu belajar selama 10 jam, dari pagi sampai sore, dengan guru dan teman-teman yang itu-itu saja. Stres, stres dah tuh. 

Tapi kalau dipikir ulang, kok saya bisa bertahan tiga tahun berada di kelas unggul itu ya? Bahkan, masih bisa masuk dalam sepuluh besar di kelas lagi. Ya, wallahu alam.

Selama tiga tahun terdampar di kelas unggul, apa sajakah yang terjadi di sana?

Oh, tentu banyak, Kisanak. Kami kan cuma labelnya saja yang "Kelas Unggul". Kelakuan masih normal kok layaknya abegeh pada umumnya. Acara contek-menyontek? Tentunya pernahlah asal gak ketahuan guru. Iseng baca komik di kelas? Sering malah. Sampai pernah, komik sewaan taman bacaan dirampas guru karena saya tak memperhatikan guru menerangkan di depan kelas. Izin keluar kelas dengan alasan mau ke toilet juga tak jarang kami lakukan. Padahal itu hanya alasan semata. Ujung-ujungnya malah mampir ke kantin yang kebetulan terletak tepat di sebelah kelas kami. Wkwkwk cekakak. 

Kalau cinta monyet bagaimana? Apakah anak-anak kelas unggul mengalaminya juga? Ya iyalah, teutep. Dan berhubung kelas kami "ekslusif", maka ada beberapa yang terlibat cinlok (cinta lokasi) dengan teman sekelas. Namun sayangnya, tak ada satupun yang benar-benar menjadi pasangan halal.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline