Lihat ke Halaman Asli

Alin You

Penyuka fiksi, khususnya cerpen dan novel.

Menanti Upi Pulang

Diperbarui: 10 Maret 2017   22:12

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber Gambar: Koleksi Pribadi

Hari semakin senja. Sinar mentari perlahan mulai bergerak ke peraduannya. Telah seharian ini perempuan itu hanya terpaku di tempatnya. Duduk termenung menatap jauh ke depan. Ke arah kerimbunan pinus yang merapat seperti hutan di seberang situ(1) yang tampak agak beriak.

Entah apa yang ia pandangi. Tatapannya kosong. Wajahnya mengeras. Sesekali terdengar desisan dari mulutnya. Kemudian ia pun tertawa. Apakah yang ia tertawakan? Tak ada yang berani bertanya langsung padanya. Jangankan bertanya, mendekatinya pun enggan.

“Dasar perempuan gila!” Itulah jawaban yang Jelita terima dari seorang penjual jagung bakar di areal taman rekreasi ini.

“Maksud Bapak? Tidak waras, gitu?” Jelita balik bertanya.

“Ya, apa coba namanya atuh, Neng. Duduk mematung seorang diri dari pagi hingga sore seperti ini. Hampir setiap hari lagi,” cerita si penjual jagung bakar sambil mengoleskan mentega ke atas jagung bakar pesanan Jelita. Kemudian lanjutnya, “Tingkahnya juga aneh. Kadang ia hanya diam mematung. Namun tak jarang sesekali ia pasti tertawa ataupun menangis. Pokokna mah aneh pisan lah (2).

Kini pesanan jagung bakar Jelita telah matang. Sambil menunggu si penjual memasukkan pesanannya ke dalam kantong keresek putih, Jelita pun bertanya.

“Sudah lama perempuan itu di sini, Mang?” Dikeluarkannya selembar dua puluhan dari dompet untuk membayar empat jagung bakar pesanannya.

Tos lami pisan atuh, Neng (3). Ada kali dua atau tiga bulanan mah. Teuing ah, Neng. Mamang mah teu ngurus soal itu (4).

Jelita hanya tersenyum tipis. Setelah mengucapkan terima kasih, ia pun kembali ke rombongannya. Namun didorong oleh rasa penasaran, Jelita akhirnya membelokkan langkahnya menuju ke tempat perempuan itu berada.

“Permisi.... Boleh saya duduk di sini?” sapa Jelita hati-hati sekali. Diliriknya perempuan yang duduk di sebelah sana. Tapi dilihatnya perempuan itu hanya bergeming.

“Ibu.... Teteh.... Boleh, ya, saya duduk di sini?” Akhirnya Jelita mengambil keputusan sendiri. Diselonjorkannya kedua kakinya ke depan dan mulai duduk di atas gundukan tanah yang mengeras, di sebelah perempuan itu. Tapi reaksi perempuan itu tetap sama.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline