[caption caption="Sumber: firanurlailiezhafirah.blogspot.com"][/caption]
"Ibu ini gimana, sih? Sudah berapa kali saya bilang, kalo saya belum datang menjemput, jangan pernah biarkan Andine keluar dari lingkungan sekolah!"
"Tapi, Bu. Tadi yang jemput Andine itu ayahnya sendiri. Masa iya saya tega melarang?"
"Tahu dari mana Ibu kalo yang jemput Andine itu ayahnya sendiri? Kalo penculik gimana?"
"Nggak mungkin, Bu. Soalnya Andine pun mengenalinya. Bahkan memanggilnya dengan sebutan Papa."
"Argh...! Pokoknya saya tidak mau tahu. Kalo kejadian ini sampe terulang lagi besok, saya akan laporkan Ibu ke polisi, dengan tuduhan persekongkolan penculikan anak."
Andine menghela napas panjang. Peristiwa sepuluh tahun silam itu kembali muncul di permukaan. Peristiwa yang terjadi saat ia berusia lima tahun dan masih bersekolah di taman kanak-kanak. Memang saat itu ia tak berada di tempat kejadian. Tapi keesokan harinya, Bu Sarah mengutarakan keberatannya ketika Papa datang untuk menjemput Andine pulang sekolah.
"Maafkan saya, Pak. Saya hanya tak ingin terjadi keributan di sekolah ini. Jadi sebaiknya Andine pulang tunggu dijemput ibunya saja."
Andine menatap wajah Papa, tak paham. Tapi dilihatnya Papa hanya bergeming. Terdengar hembusan napas beliau yang berat dan wajahnya yang tiba-tiba saja menegang.
"Ya sudahlah, Bu," kata Papa akhirnya. Kemudian menatap Andine sambil menahan bulir air di sudut matanya. "Andine pulang bareng Mama aja ya, Sayang. Maaf, Papa nggak bisa ajak Andine jalan-jalan lagi kayak kemaren." Digenggamnya tangan anak gadisnya itu untuk kemudian memeluknya erat. Tak terasa airmata yang sejak tadi ditahannya, luluh juga.
"Tapi kenapa, Pa?" rengek Andine memelas. Tangisnya pecah saat dirasakannya Sang Papa menahan pedih yang teramat dalam.