Lihat ke Halaman Asli

Alin You

Penyuka fiksi, khususnya cerpen dan novel.

[Kartini RTC] Rangginang Teh Uyun

Diperbarui: 11 April 2016   19:28

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Rangginang, cemilan khas Sunda

Alin You, Cermin RTC No.62

 

[caption id="" align="aligncenter" width="500" caption="Rangginang, cemilan khas Sunda"][/caption]

Namanya Teh Uyun. Aku mengenalnya sebagai anak salah seorang ketua kelompok tani binaanku. Selain itu, ia juga aktif sebagai tim penggerak PKK Desa dan akhirnya kini ia pun tergabung dalam anggota Kelompok Wanita Tani (KWT) yang belum lama terbentuk di dusun ini. Sebenarnya, ada banyak wanita hebat di sini. Tapi entah kenapa, aku sangat tertarik dengan kehidupan Teh Uyun.

Sebagai anak petani, tentunya Teh Uyun telah diwariskan sepetak lahan persawahan oleh orangtuanya, dan dari situlah sumber penghidupannya sehari-hari bersama anak-anaknya yang tengah beranjak dewasa. Apalagi semenjak suaminya berpindah ke lain hati dan jarang pulang ke rumah – walaupun sang suami tidak menceraikannya, sehingga Teh Uyun lah yang harus bertindak sebagai tulang punggung bagi kedua putra-putrinya.

"Teteh kuat, ya? Kalo saya mah udah minta cerai, Teh. Daripada hidup digantung begini," protesku saat membantu Teh Uyun mencetak adonan rangginang di atas tampah anyaman bambu.

"Hahaha... Siapa bilang saya wanita kuat, Bu? Saya pun sempat jatuh sakit selama tiga bulan saat mengetahui suami nikah lagi dengan wanita desa sebelah, tanpa sepengetahuan saya. Sakitnya tuh bukan hanya di sini, Bu, tapi semua badan remuk redam." Teh Uyun pun menirukan gaya seorang biduan dangdut saat menyanyikan lagu 'Sakitnya Tuh di Sini'.

"Ih, Teteh meni kitu," ujarku sambil tersenyum. Adonan-adonan rangginang yang telah tercetak rapi di tampah akhirnya dipindahkan ke atas genting untuk dikeringkan.

Begitulah kehidupan sehari-hari Teh Uyun. Sawah yang luasnya hanya beberapa ratus meter persegi itu ia manfaatkan untuk menanam padi dan ketan. Saat panen tiba, sebagian padi-padi itu ia jual dan sisanya digiling untuk makan sehari-hari bersama anak-anak. Sedangkan ketan pasca panen, digiling dan olah sendiri menjadi rangginang yang kemudian dipasarkan ke pasar-pasar sekitar desa, bahkan juga di pasar Cikampek dan Johar Karawang.

"Saya bersyukur, Bu, bisa masuk ke KWT Dahlia. Dengan begitu saya tak perlu lagi susah-susah memasarkan rangginang seorang diri. Karena sekarang kan ada Bu Darma, pengurus KWT yang memfasilitasi kami ibu-ibu pengrajin rangginang dalam memasarkan produk. Dan saya juga berterimakasih kepada Ibu dan Dinas Pertanian karena bersedia memberikan bantuan modal untuk usaha rangginang ini."

"Ah, itu semua berkat kegigihan KWT dan para anggotanya, Teteh. Dinas mah hanya sekedar membantu. Karena percuma saja dibantu, kalo nggak ada keinginan maju dari ibu-ibu KWT di sini," paparku merendah. Adonan rangginang yang sudah mengering kemudian kami balik sehingga bagian rangginang yang masih basah bisa terjemur oleh sinar matahari langsung.

Selalu demikian. Sebisa mungkin kusempatkan diri berkunjung ke rumah Teh Uyun, meskipun hari itu bukanlah jadwal kunjunganku ke KWT tempat Teh Uyun bernaung. Dan anehnya, di setiap akhir kunjungan, Teh Uyun sering kali memberiku sekantong plastik rangginang mentah sebagai buah tangan.

***

"Ibu, meni sombong sekarang. Jarang datang euy kemari. Lagi sibuk, ya?"

Suara khas Teh Uyun terdengar nyaring di seberang sana. Aku yang rindu akan suara itu segera beristighfar. Ya, Allah! Sudah berapa lama aku tak mengunjungi Teh Uyun dan kelompoknya? Rasanya aku ingin sekali bercengkerama dan bertukar pikiran lagi dengannya.

Akhir-akhir ini memang aku selalu disibukkan dengan aneka pelatihan dan program pendampingan petani di beberapa kota. Semua itu semata-mata untuk mensukseskan program pemerintah berswasembada pangan khususnya Padi, Palawija dan Kedelai (Pajale). Fuih! Maafkan aku, ya, Teh.

"Ieu, Bu. Abdi cuma mau ngundang. Hari Minggu besok Ibu nggak sibuk, kan? Bisa kan temani saya untuk ngabesan, melamarkan pujaan hatinya si Ujang."

Deg! Ujang mau menikah? Putra pertama Teh Uyun itu akhirnya dipertemukan dengan jodohnya. Dan aku begitu bodoh. Terlalu sibuk dengan pekerjaan kantor, sehingga tak lagi bisa mengikuti perkembangan keluarga kecil itu.

"Bapaknya datang juga, Teh?” sahutku di telepon.

Bagaimanapun Ujang masih memiliki seorang ayah. Dan alangkah bahagianya seorang anak, bila pernikahannya bisa dihadiri oleh kedua orangtuanya.

"Entahlah, Bu. Saya sudah memberitahukan Bapaknya. Tapi, ya, saya nggak tahu juga apakah Kang Uci bisa hadir atau tidak."

"Tapi Teteh kan masih istrinya?"

"Istri yang tak dianggap, Bu. Hanya datang saat ia butuh saja. Dan pasca pilkades kemaren, Kang Uci sudah tak pernah pulang lagi. Malu kali. Ah, sudahlah!"

Ya, sudahlah, Teh. Laki-laki tak bertanggung jawab seperti itu memang tak pantas memiliki hati perempuan setulus dan seikhlas Teteh. Tanpa adanya suami, Teh Uyun telah mampu membuktikan kalau Teteh masih bisa hidup dan membesarkan anak-anak seorang diri. Walaupun itu semua tak semudah membalikkan telapak tangan.

***

Karawang, 20 April 2015 at 2:30 PM

 PS: Mengenang mendiang Teh Uyun, semoga tenang di tempat barumu. Aamiin...

1429517324336883319

 

Untuk membaca karya peserta lain silahkan menuju akun Fiksiana Community: http://lifestyle.kompasiana.com/hobi/2015/04/16/panduan-dan-kumpulan-cerita-mini-event-kartini-rumpies-the-club-712535.html

 

Silahkan bergabung di FB Fiksiana Community: https://www.facebook.com/groups/rumpies23theclub/




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline