Lihat ke Halaman Asli

Alin You

Penyuka fiksi, khususnya cerpen dan novel.

Jona dan Bulan Juni

Diperbarui: 10 April 2016   09:52

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Sumber: tanyanama.com"]Hai, namaku Jona. Aku lahir di bulan Juni. Dilihat dari nama, memang ada kemiripan antara namaku dengan bulan kelahiranku. Menurut cerita ibuku, namaku itu merupakan singkatan dari nama kedua orang tuaku. Adalah Jo dari nama ayahku, Johan, dan Na dari ibuku, Diana. Kreatif juga orang tuaku itu. Dari pada susah-payah mencari nama yang pas buat sang buah hati, padu-padankan saja nama-nama mereka sehingga membentuk sebuah nama. Simpel bukan? Tak usah lagi pakai acara bubur merah bubur putih segala. Benar tidak?

Kalau ibuku mendengar protesku ini, pasti beliau akan mengadakan pembelaan diri. “Ya, nggak begitulah, Sayang. Nama itu kan memang sengaja kami pilihkan untukmu sebagai bukti betapa tulus dan sayangnya kami kepadamu.”

Ckckck! Aku tak percaya sama sekali. Buktinya, saat usiaku baru menginjak 17 tahun – yang mana orang-orang sering menyebutnya dengan sweet seventeen, mereka berdua memutuskan untuk berpisah dan mencampakkanku begitu saja. Itukah yang namanya bukti kasih sayang?

“Jona sayang, maafkan kami, ya? Mungkin ini memang jalan yang terbaik buat kita semua. Ayah dan Ibu sudah tak bisa lagi bersatu seperti dulu. Jona bisa paham, kan?”

Ya, ya, ya. Jona paham kok. Pahaaam buanget. Ibu dan Ayah tenang saja. Gerutuku dalam hati.

Huh! Jujur saja, menyakitkan sekali saat mengetahui kedua orangtuamu akan meninggalkanmu di saat engkau baru saja melangkah ke tahap remaja dewasa. Dan tahukah kalian? Semua itu terjadi di bulan Juni. Ya, JUNI, bulan kelahiranku sendiri! Oh, betapa beruntungnya aku!

Pasca perceraian orang tuaku, aku memilih tinggal bersama eyang di Semarang. Bukan apa-apa, aku hanya ingin belajar menata kehidupanku sendiri setelah ayah dan ibu berpisah. Tapi kala itu ibu sempat tak menyetujui keinginanku.

“Jona, apa-apaan ini? Kenapa kamu tak mau tinggal sama Ibu? Kamu tahu, meski kami bercerai, Ibu masih sanggup kok membiayai hidup kamu. Ibu juga masih mampu memenuhi semua kebutuhan kita berdua.”

“Ibu, bukan itu maksud Jona. Jona percaya kok kalo Ibu mampu memenuhi semua kebutuhan Jona. Jona juga percaya kalo Ibu akan bertanggung jawab. Tapi Bu, untuk sekaliii ini saja Jona mohon, Jona ingin tinggal sama Eyang Kung dan Uti saja, ya, di Semarang. Pliiisss… boleh, ya, Bu?” Kugenggam tangan ibu dan memohon dengan sangat. Ibu tetap tak rela. Terdengar helaan panjang napasnya. Tapi aku juga pantang menyerah. Setelah perdebatan panjang, akhirnya ibu mengalah juga dan membiarkanku tinggal bersama eyang di Semarang. Yes! Yes!

Hari-hari selanjutnya kucoba untuk pasrah menjalani hidupku. Ya, karena kini aku bukan lagi anak ayah dan ibuku. Kini, aku adalah anak eyang. Ups! Cucu eyang tepatnya. Dan sebagai cucu eyang yang baik, aku sudah tak boleh lagi manja. Aku juga tak boleh cengeng lagi. Aku tidak mau kedua eyangku itu merasa terbebani dengan kehadiranku di sisi mereka. Ya, apapun yang terjadi, aku harus kuat dan mandiri. Semangat, Jona!

-0o0-

Di sinilah aku kini. Di sebuah kota yang terkenal dengan kota Atlas. Sebuah kota yang terkenal pula dengan lumpia dan bandeng prestonya. Yup, apalagi kalau bukan Semarang. Di kota inilah aku melanjutkan kuliahku yang tentunya atas biaya dari ayahku. Beliau – meski telah berpisah dari ibu – tidak lantas melupakan kewajibannya sebagai seorang ayah. Meski jauh, ayah masih sempat menghubungiku lewat telepon. Menanyai keadaanku, bersedia mendengarkan curhat-curhatku dan tak lupa pula selalu menyelipkan wejangan-wejangan khas orang tua agar aku pandai-pandai dalam menjaga diri. Dibandingkan dengan ibu, ayah ternyata lebih perhatian kepada putri semata wayangnya ini. Lelaki sebaik ayah, mengapa ibu tega mencampakkannya begitu saja?

Memasuki tahun ketiga kuliahku, aku mendapat kabar kalau ibu akan menikah lagi. Ya Allah, secepat itukah? Rasanya baru kemarin ayah dan ibu bercerai. Dan kini ibu telah memutuskan untuk menikah lagi dan menggantikan posisi ayah dengan laki-laki lain? Oh, no! Aku benar-benar tak habis pikir.

“Sayang, Om Wandy itu lelaki yang baik, lho. Dia sayang kok sama Ibu. Ibu juga sayang sama dia. Jadi, apa salahnya? Masa, sih, kamu nggak ingin melihat Ibumu ini bahagia?”

Ih! Menjijikan sekali saat mendengar ibu bicara seperti itu. Apalagi melihat rona kemerahan di kedua pipinya, aih… seperti ABG yang tengah dilanda kasmaran saja.

“Oh! Bahagia, ya, Bu? Sekarang Jona mau tanya, apa dulu sewaktu Ibu masih bersama Ayah, Ibu sama sekali tidak merasakan kebahagiaan?” tanyaku, tentunya dengan nada sedikit menyindir.

Ibu tampak terkejut mendengar komentarku. “Jona, bukan begitu maksud Ibu. Ya, ya… kamu bisa saja komentar seperti itu, karena kamu memang belum pernah mengalaminya. Lagian, tahu apa, sih, kamu soal pernikahan?” Ibu balas mengecamku.

“Oke, terserah Ibu saja, deh. Lakukan apa yang menurut Ibu baik. Jona udah nggak peduli lagi.”

Perih. Perih sekali. Mengapa ibu tega berbuat seperti itu kepadaku? Apa ibu pernah juga merasakan bagaimana tak enaknya menjadi anak korban perceraian? Bagaimana aku yang selalu minder berada di antara teman-teman sebayaku? Bagaimana aku yang sering kali goyah karena tak memiliki tempat bersandar dan mengadu? Tidak! Ibu sama sekali tak pernah tahu akan hal itu. Ibu kejam. Aku benci ibu.

Tak berapa lama akhirnya undangan itu pun datang kepadaku. Aku membacanya dengan tangan gemetar dan mata berkaca-kaca. Bulan Juni? Ibu akan menikah di bulan Juni? Ya Allah, apalagi ini? Mengapa kejadian buruk dalam hidupku selalu terjadi di bulan Juni? Mengapa? Aku memutuskan tak akan datang di hari pernikahan ibu, meski ayah dan eyang telah membujukku berulang kali.

“Pokoknya Jona nggak akan datang. Kalo Eyang dan Ayah mau pada datang, silakan saja. Pokoknya sampai kapan pun Jona nggak akan pernah merestui pernikahan Ibu itu. Titik!”

Aku berlari ke dalam kamarku. Mengurung diri selama berhari-hari. Aku benci dengan semua ini. Aku benci ibu. Aku benci laki-laki yang telah merebut ibu dariku. Aku benci ayah. Aku benci eyang. Aku juga benci bulan Juni.

Ya, aku semakin traumatik dengan bulan Juni. Bagiku, Juni adalah bulan kesialan. Bulan yang selalu mendatangkan mimpi buruk padaku. Bulan yang selalu membawa malapetaka. Bulan yang…. Ah, pokoknya aku harus menghindari bulan yang satu ini.

“Gimana caranya kamu menghindar dari bulan Juni?” tanya Aldy, satu-satunya sahabat yang selalu setia mendengarkan keluh-kesahku. Aku sudah mengenalnya dari zaman SMU dulu. Kami satu sekolah dulu di Jakarta. Aldy itu kakak kelasku di SMU. Kini dia bekerja di Yogya dan sering mampir ke Semarang sekadar untuk menemuiku.

“Iya, ya. Kenapa pula harus ada bulan Juni di dunia ini?” aku balas bertanya.

“Kamu jangan aneh-aneh, deh, Jo. Kebetulan saja kan itu semua terjadi di bulan Juni? Jadi, jangan dikait-kaitkan, deh.”

“Ngomong, sih, emang mudah, Al. Tapi coba kalo kamu berada di posisiku?”

Aku kesal saja mendengar komentar Aldy yang bersikukuh mengatakan bahwa semua peristiwa buruk yang kualami ini tak ada sangkut pautnya dengan bulan Juni. Huh, bagaimana mungkin? Lha wong semuanya terjadi di bulan Juni kok.

“Jo…,” terdengar Aldy memanggilku dengan suaranya yang lembut. Kudongakkan kepala dan menatapnya. Aldy diam sesaat, menghembuskan napasnya sebelum melanjutkan, “Hm... Jo, kalo kamu berkeyakinan seperti itu, berarti kamu udah syirik dong ke Allah?”

“Maksud kamu?”

“Ya... kamu tahu nggak Jo, semua yang terjadi di muka bumi ini nggak ada yang sia-sia. Semuanya itu pasti ada hikmahnya. Semuanya pasti diperuntukkan Allah sebagai pembelajaran bagi kita untuk menjadi lebih baik lagi di masa mendatang.”

“Tapi Al, kenapa semuanya harus terjadi di bulan yang sama?” aku bersikeras.

“Ah, itu kamu aja kali yang tersugesti bahwa di bulan Juni pasti bakal ada kejadian buruk yang menimpamu. Akibatnya ya… kamu sendiri yang jadi parno dengan bulan itu. Padahal, mau bulan Juni atau bulan apapun juga bila Allah udah berkehendak kejadian itu akan menimpamu, maka terjadilah. Iya nggak, Jo?”

Lama, kucerca semua kata-kata Aldy itu. Kutatap kedua matanya. Kucari kebenaran di mata itu. Aldy hanya tersenyum dan menganggukkan kepalanya. Oke! Aldy mungkin ada benarnya juga. Mungkin ini hanya sugestiku saja. Aku yang terlalu ketakutan menghadapi semua itu, sehingga aku lebih memilih menjadikan bulan Juni – yang juga merupakan bulan kelahiranku – menjadi kambing hitam atas semua peristiwa buruk yang menimpaku selama ini. Ya Tuhan, aku bingung!

“Gimana, Jo? Udah cukup puas kan dengan penjelasanku tadi? Atau masih penasaran juga?”

Aku diam saja. Mataku saja yang memandangnya tak yakin. Aldy tampak tertunduk sedikit. Terdengar lagi helaan napasnya seperti memendam sesuatu.

“Gini aja, deh, Jo. Kalo emang kamu masih belum puas juga, aku akan membuktikan ke kamu kalo tak selamanya bulan Juni itu mendatangkan keburukan buatmu. Gimana, kamu mau nggak?”

“Gimana caranya?” tanyaku ke Aldy. Mataku menatapnya, tak paham. Sedang Aldy malah terlihat salah tingkah.

“Aduh, gimana cara ngomongnya, ya?”

“Kenapa, sih, Al? Kok sekarang malah kamu yang sal-ting gitu,” keningku berkerut, bingung melihat tingkah Aldy yang makin tak karuan di depanku.

“Aduh, gimana ngomongnya, ya?” Lagi, Aldy mengulang kata-kata yang sama. Dia terlihat menggaruk-garuk kepalanya sambil melihat ke kiri dan ke kanan dan sesekali menunduk.

”Ada apa, Al? Kamu ini kenapa, sih?”

Ehm! Terdengar deheman dari mulut Aldy. Kulihat dia menghembuskan napas, lalu berkata, “Hm... Jo, kamu, kamu… kamu mau nggak menikah denganku?”

Deg! Sesaat kurasakan jantungku berhenti berdetak. Apa? Aku, aku tak salah dengar, kan? Aldy… Aldy memintaku untuk menikah dengannya?

“Kamu… kamu bercanda kan, Al?” aku masih tak mempercayai pendengaranku.

“Menurutmu?”

Aldy tersenyum dan menatapku sesaat sebelum tertunduk lagi. Meski hanya sesaat, tapi tatapan matanya itu tepat menusuk jantungku. Tatapan matanya menghujaniku dengan kesejukan dan keteduhan. Tampak jelas kesungguhan di sana. Kini, giliran aku yang salah tingkah. Ya Allah, ada apa ini?

“Gimana, Jo? Kamu bersedia nggak?” ulang Aldy. Aku semakin menundukkan kepalaku dalam. Tak berani menatap matanya.

“Kalo kamu bersedia, alangkah bahagianya aku, Jo. Karena udah lama sekali aku ingin mengatakan hal ini ke kamu. Aku nggak mau pacaran, Jo. Buat apa? Toh kita berdua udah saling kenal sejak lama.”

”Jo, aku… aku ingin selalu berada di dekat kamu. Membelaimu, memelukmu, dan menghapus air matamu mana kala kesedihan itu mengerjaimu. Aku ingin selalu menikmati senyummu setiap saat. Karena bagiku, senyummu itu bagaikan api yang senantiasa membakar semangatku untuk terus berkarya dan berkarya. Jo, maukah kamu menikah denganku?” Aldy berlutut di depan dan menyodorkan tangan kanannya kepadaku. Persis seperti adegan di film-film romantis.

Aku tak sanggup lagi berbicara. Aku juga tak kuasa menatap sosok pria yang berada di hadapanku ini. Aku hanya mampu menganggukkan kepala. Dan air mata ini? Air mata ini tak henti-hentinya keluar saat mendengar semua pengakuannya itu. Ya Allah, apakah ini sebuah mimpi? Jika iya, tolong bangunkan aku segera!

“Alhamdulillah… makasih, ya Jo. Aku senang banget mendengarnya. Kalo gitu, gimana kalo kita menikah bulan Juni tahun depan. Gimana, Jo? Kamu bersedia, kan?”

Apa?! Bulan Juni lagi? Gubrak!!!

- 0o0 -

 

Karawang, 4 April 2008

Sebuah kado untuk temanku, semoga engkau bahagia bersama pilihanmu!

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline