Lihat ke Halaman Asli

Alin You

Penyuka fiksi, khususnya cerpen dan novel.

[FKK] Randai Mak Tuo

Diperbarui: 5 Januari 2016   08:14

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Alin You, No. 44

 

Dua hari lagi akan diadakan perhelatan akbar di rumah Datuak Sahili. Semua warga Nagari Talang Babungo menjadi heboh dibuatnya. Pasalnya, setiap kali Datuak Sahili mengadakan hajatan, pasti tampak megah dan mewah. Wajar memang. Beliau itu orang terkaya di nagari ini sekaligus pemangku adat yang sangat disegani oleh masyarakat.

“Memang dalam rangka apa Datuak Sahili mengadakan hajatan?” tanyaku polos kepada Wahyu dan Udin, saat kami sedang beristirahat di dangau dekat sawah yang lagi kami garap. Tengah hari nan terik membuat kami harus menghentikan pekerjaan sejenak. Untunglah, Amak selalu menyediakan bekal makan siang yang tadi dibawakan Neli, adik semata wayangku, ke dangau ini. Sedang Wahyu dan Udin? Ah, mana pernah mereka membawa bekal makan siang? Sehari-hari mereka hanya menebeng bekal makan siang yang memang sengaja dilebihkan porsinya oleh Amak.

“Hei, jangan bilang kau tak tahu kabar menghebohkan itu, Sein?” Udin balik bertanya sambil menatapku penuh selidik. Udara bulan Juni yang mulai memasuki musim kemarau, mau tak mau membuatnya harus selalu mengipas-ngipaskan topi capingnya untuk mengusir hawa panas di sekitar bahu dan lehernya. Padahal secara geografis, Nagari Talang Babungo itu masih terletak di dataran tinggi di daerah Solok Selatan. Tapi mungkin efek global warming sudah ikut mempengaruhi iklim di nagari ini pula.

“Ngomong-ngomong, apa menu makan siang kita kali ini, Sein?” Perlahan, mata Udin pun mulai melirik rantang 4 susun yang sedang kubuka. Dia sengaja menggeser duduknya lebih dekat ke arahku.

“Eit! Cuci tangan kau dulu. Itu lihat, masih ada bekas lumpur di sela-sela jarimu,” tepisku saat tangan Udin sudah mulai bergerilya mencomot pregede jaguang yang ada di rantang.

“Ah, pelit kali kau!” Dengan kesal Udin melemparkan topi capingnya ke arahku. Kemudian beringsut turun dari dangau dan berjalan menyusuri pematang sawah menuju pinggiran irigasi untuk mencuci tangan.

Sepeninggalnya Udin, Wahyu berpindah duduk di dekatku. “Sein, serius kau tak tahu tentang hajatan Datuak Sahili?” tanyanya sambil mencentong nasi ke dalam piring kaleng yang juga telah disediakan Amak bersama rantang 4 susun yang berisi nasi beserta lauk-pauknya. Dan untuk menu kali ini Amak telah menyediakan pregede jagung, balado jariang, dan seplastik gulai paku.

“Aku bertanya itu karena aku tak tahu. Apakah itu salah?” Sungguh aku kesal dengan perlakuan kedua temanku ini. Dikira mereka, aku hanya berpura-pura tak tahu. Huh!

“Tenang sajalah kau, Sein. Jangan emosi begitu!” Tahu-tahu Udin sudah kembali dan mulai naik ke atas dangau. “Kau kenal 'kan anak Datuak Sahili yang bernama Amalia itu? Nah, sepekan yang lalu dia itu diwisuda. Kini, keluarga Datuak ingin mengadakan syukuran atas wisuda anaknya itu. Begitulah kabar yang kudengar dari Abakku.” Udin menjelaskan panjang lebar perihal hajatan akbar itu.

“Oh, Amalia telah diwisuda rupanya.” Aku membatin sambil membayangkan andai aku bisa kuliah juga.

“Oya, aku dengar Datuak juga mengundang Randai Mak Tuo. Itu lho grup randai terkenal dari Padang Panjang.” Wahyu menambahkan. Mulutnya penuh dengan pregede jagung. Namun tiba-tiba, “Huk, Huk!” Dia pun tersedak.

Udin yang melihat Wahyu tersedak, langsung tertawa keras. “Hahaha .... Makanya kalau makan jangan sambil bicara, Yu. Tersedak ‘kan kau.”

Wahyu hampir saja hendak menyiram Udin dengan air yang ada di gelasnya, tapi segera kucegah. “Macam anak kecil saja kalian berdua ini.” Kutatap garang kedua temanku itu secara bergantian. Kemudian lanjutku, “Hm ... kalau begitu hebat kali Datuak Sahili bisa mengundang Randai Mak Tuo ke nagari kita. Ckckck!” Decak kagum pun meluncur dari bibirku.

Wahyu dan Udin hanya melongo memandangku.

***

Hari yang ditunggu-tunggu pun tiba.

Malam ini Nagari Talang Babungo tampak begitu gempita. Hingar-bingar musik dan puluhan warga terlihat memadati rumah Datuak Sahili yang tergolong mewah untuk ukuran Nagari Talang Babungo. Ya, malam ini pemangku adat terkaya dan sangat disegani di Nagari Talang Babungo itu tengah mengadakan pesta syukuran atas wisuda anak sulungnya, Amalia. Maka, pesta megah dan mewah pun digelar. Tak tanggung pula, Sang Datuak juga mengundang grup randai ternama dari Padang Panjang, Grup Randai Mak Tuo.

“Hai, Husein. Sama siapa kau kemari? Mana Amak kau?” sapa Datuak Sahili di kejauhan, saat kakiku baru saja memasuki halaman rumahnya.

“Iya, Datuak.” Mau tak mau langkahku pun berbelok ke arahnya. Sesampaiku di depan Datuak, segera kucium punggung tangan kanannya. “Tadi Amak pesan, beliau datang agak telat, Datuak. Hasna, anaknya Ni Rahma, lagi rewel dari semalam. Sakit panas tampaknya,” jelasku perihal Amak yang belum bisa datang ke rumah Datuak Sahili.

“Hm .... Kau sendirian saja kemari, Sein?” tanya Datuak lagi.

Sialan! Kedua 'bandit' itu pasti sengaja meninggalkanku sendirian di sini. Berhadapan dengan Datuak Sahili pula. Ah, sebentar lagi pasti berbagai wejangan khas orang tua akan meluncur dari mulutnya. Aduh! Aku hanya menggaruk-garuk kepalaku sambil tersenyum salah tingkah.

“Tadi bersama Wahyu dan Udin, Datuak. Entah ke mana mereka kini.”

“Ya, sudahlah. Carilah kawan kau, tuh. Dan selamat menikmati sajian dan hiburan di sini. Datuak ke sana dulu, hendak menyambut tamu-tamu yang lain.” Datuak Sahili pun pamit dan meninggalkanku seorang diri. Fuih!

Sepeninggalnya Datuak Sahili, aku pun segera menuju panggung utama. Di sana tampak Grup Randai Mak Tuo yang sangat terkenal seantero Sumatera Barat itu tengah beraksi. Terdengar alunan saluang, rabab dan talempong, alat-alat musik yang biasa digunakan dalam pergelaran randai, menggema hingga radius 100 meter dari asal suara. Sorak-sorai warga pun tak mau kalah. Saat menyaksikan grup randai yang sering kali mengisi acara-acara kesenian di televisi lokal serta dipanggil dalam acara-acara di gubernuran itu ada di tengah-tengah mereka. Ya, mimpi apa semalam hingga Datuak Sahili berhasil memanggil dan menghadirkan grup randai tersohor itu ke nagari mereka.

“Lihat! Lincah nian para pesilat itu beraksi! Berkeliling mengikuti alunan saluang, rabab dan talempong yang terdengar syahdu!” terdengar suara Wahyu nyaring, saat aku berhasil menemukan 'bandit-bandit' itu. Kulihat tangan Wahyu sibuk menunjuk-nunjuk ke arah panggung yang tengah menampilkan grup randai terkenal itu.

“Bagus kali kalian, ya. Meninggalkanku seorang diri di hadapan Datuak, hah?!” teriakku garang ke arah Wahyu dan Udin. Kontan, mereka berdua kaget dan mundur beberapa langkah. “Apa? Kalian mau coba-coba kabur, ya?”

Udin tampak ketakutan. Dia mencoba memberikan alasan. “Maafkan kami, Sein. Kau 'kan tahu betapa cerewatnya Datuak Sahili kalau sudah bertemu kita. Daripada kupingku panas mendengar petuah-petuahnya, lebih baik aku nonton Mak Tuo saja di sini.” Wahyu di sebelahnya hanya mengangguk-anggukan kepala saja.

“Sudahlah, kawan. Buat apa pula kita ribut. Kita ke sini 'kan mau melihat aksi randai Mak Tuo bersama kawan-kawannya. Ayo!” Wahyu sengaja merangkulku dan Udin dan mengajak kami lebih dekat lagi ke panggung, supaya bisa menonton aksi randai Mak Tuo dengan jelas.

Akhirnya, dari bawah panggung, aku dapat melihat ada 10 orang pemuda mengenakan pakaian penghulu berwarna hitam. Mereka berkeliling membentuk lingkaran sambil menari dengan gerakan silat yang keren. Sedangkan aktor utamanya berdiri di tengah lingkaran dan berakting sesuai dengan jalan cerita yang disampaikan Sang Janang sebagai dalang dalam pertunjukan ini.

“Hei, lihat! Betapa piawainya Mak Tuo sebagai sang Janang yang sedang membawakan cerita Cindua Mato.” Mataku tak lepas terus menatap panggung, khususnya ke arah Mak Tuo. Suasana bising di sekitar kami, tak kuhiraukan sama sekali. “Hm ... ingin rasanya aku belajar randai dengan beliau itu.” Sungguh, aku takjub sekali dapat melihat aksi Randai Mak Tuo secara langsung.

“Ya, sudah. Nanti kita minta foto bersama mereka saja,” timpal Udin tiba-tiba. Kontan, aku dan Wahyu menatap ke arahnya.

“Hah? Serius kau, Din? Memang bisa?” tanyaku dan Wahyu serempak. Sedang Udin hanya mengangkat bahunya sambil cengengesan. Huh!

Kembali konsentrasi kami terfokus pada panggung. Menikmati alunan saluang, rabab dan talempong yang mengiringi cerita-cerita rakyat yang disampaikan secara apik oleh Mak Tuo bersama grup randainya secara langsung. Pukul satu dini hari acara super mewah dan heboh itu berakhir juga. Namun sayang, sampai acara selesai, tidak satu pun dari kami yang berhasil berbincang-bincang dan berfoto bersama grup randai tersohor itu.

 

Karawang, 12 Juni 2014

***

 

Keterangan:

pregede jaguang = perkedel jagung.

balado jariang = balado jengkol.

gulai paku = gulai yang terbuat dari tanaman pakis yang banyak tumbuh di pinggir-pinggir sungai .

randai = salah satu permainan tradisional di Minangkabau yang dimainkan secara berkelompok dengan membentuk lingkaran, kemudian melangkahkan kaki secara perlahan, sambil menyampaikan cerita dalam bentuk nyanyian secara berganti-gantian. Randai menggabungkan seni lagu, musik, tari, drama dan silat menjadi satu.  (Sumber: http://id.wikipedia.org/wiki/Randai).

 

***

Untuk membaca karya peserta lain silahkan menuju akun Fiksiana Community dengan judul : Inilah Hasil Karya Peserta Event Fiksi Kota Kelahiran. (http://www.kompasiana.com/androgini)

Silahkan bergabung di FB Fiksiana Community (https://www.facebook.com/groups/175201439229892/).  

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline