Lihat ke Halaman Asli

ali Mutakin

Dosen STAI Nurul Iman Parung Bogor

Ketentuan Pembagian Harta Gono-Gini dalam KHI

Diperbarui: 25 Februari 2023   19:00

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Pembagian harta gono gini adalah suatu fenomena dimana pembagian harta dalam sebuah keluarga atau pernikahan dilakukan secara tidak merata. Istilah "gono gini" berasal dari bahasa Jawa yang berarti "serupa-sama". Dalam praktiknya, pembagian harta gono gini dapat terjadi ketika suami dan istri tidak sepakat tentang pembagian harta dalam pernikahan, atau ketika suami dan istri memiliki pendapatan yang berbeda.

Dalam pembagian harta gono gini, harta yang dimiliki suami dan istri dianggap sebagai harta bersama dan dibagi secara merata. Namun, pembagian harta gono gini seringkali menimbulkan masalah, terutama jika salah satu pihak merasa tidak adil dalam pembagian harta tersebut.

Selain itu, pembagian harta gono gini juga dapat berdampak pada ketidakadilan gender, karena seringkali suami memiliki pendapatan yang lebih tinggi dibandingkan istri sehingga istri tidak mendapatkan bagian yang setara dalam pembagian harta gono gini.

Untuk menghindari masalah dalam pembagian harta gono gini, sebaiknya pasangan suami istri menentukan perjanjian pra-nikah atau membuat perjanjian tertulis tentang pembagian harta. Hal ini dapat membantu mencegah ketidakadilan dalam pembagian harta jika terjadi perceraian atau bila salah satu pasangan meninggal dunia.

Selain itu, penting juga untuk memperhatikan hak-hak perempuan dalam pembagian harta, sehingga tidak terjadi ketidakadilan gender dalam pembagian harta gono gini. Oleh karena itu, diperlukan kesadaran dari masyarakat dan juga upaya dari pemerintah untuk mengedukasi dan memperkuat perlindungan hak-hak perempuan dalam pembagian harta gono gini.

Dalam undang-undang, pembagian harta gono gini diatur oleh beberapa peraturan hukum, antara lain:

  1. Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan: Dalam Pasal 35 ayat (1) disebutkan bahwa harta yang diperoleh suami-istri selama perkawinan merupakan harta bersama, kecuali ada perjanjian yang menyatakan sebaliknya.
  2. Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak: Dalam Pasal 50 ayat (2) diatur bahwa dalam kasus perceraian, hak-hak anak untuk mendapatkan nafkah, pendidikan, dan pengasuhan tidak dapat diganggu gugat, dan harta gono gini tidak boleh menjadi alasan untuk tidak memberikan nafkah, pendidikan, dan pengasuhan kepada anak.
  3. Putusan Mahkamah Agung No. 1166 K/Pdt/2011: Dalam putusan ini, Mahkamah Agung menegaskan bahwa pembagian harta gono gini dalam perceraian tidak dapat dilakukan secara otomatis, melainkan harus dipertimbangkan dengan adil dan proporsional sesuai dengan kondisi masing-masing pasangan.

Dari peraturan-peraturan di atas, dapat disimpulkan bahwa pembagian harta gono gini diatur dalam undang-undang dan harus dilakukan dengan adil dan proporsional. Pasangan suami istri juga dapat membuat perjanjian pra-nikah atau perjanjian tertulis lainnya untuk mengatur pembagian harta gono gini secara lebih rinci dan jelas. Hal ini bertujuan untuk menghindari ketidakadilan dalam pembagian harta gono gini dan melindungi hak-hak perempuan dan anak-anak dalam perceraian.

Selain itu, dalam beberapa kasus, pembagian harta gono gini juga dapat diatur oleh hukum waris. Hukum waris biasanya berlaku ketika salah satu pasangan meninggal dunia, dan dalam hal ini pembagian harta dilakukan berdasarkan ketentuan yang diatur dalam hukum waris.

Di Indonesia, hukum waris diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) dan juga dalam beberapa undang-undang lainnya, seperti Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (PD 5/1960) dan Undang-Undang No. 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.

Dalam pembagian harta warisan, biasanya suami dan istri mendapatkan bagian yang sama jika mereka memiliki anak, sedangkan jika tidak memiliki anak, maka suami atau istri yang meninggal akan menentukan penerima warisan berdasarkan wasiat atau ketentuan hukum waris.

Pembagian harta warisan juga harus dilakukan dengan adil dan proporsional, sehingga tidak terjadi ketidakadilan antara ahli waris dan antara suami dan istri dalam menerima bagian warisan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline