Lihat ke Halaman Asli

Ali Mustahib Elyas

TERVERIFIKASI

Bacalah atas nama Tuhanmu

KEBERAGAMAN, Antara Realitas dan Formalisasi Berlebihan

Diperbarui: 8 Februari 2025   20:26

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

(Sumber Foto : Dokumen Pribadi)

Keberagaman atau "diversity" dalam bahasa Inggris berarti perbedaan atau variasi dalam berbagai aspek. Dalam istilah pendidikan, keberagaman merujuk pada kenyataan bahwa setiap individu memiliki latar belakang, potensi, minat, serta kemampuan yang berbeda-beda. Oleh karena itu, pendekatan pembelajaran harus mampu mengakomodasi perbedaan ini agar setiap siswa dapat berkembang sesuai dengan potensinya masing-masing tanpa harus dipaksa mengikuti pola yang seragam.

Konsep keberagaman dalam pendidikan sejatinya merupakan refleksi dari realitas bahwa manusia memiliki potensi yang tidak tunggal. Howard Gardner, melalui teori kecerdasan majmuk (Multiple Intelligence), mengungkapkan bahwa setiap individu memiliki kecerdasan yang berbeda-beda, termasuk kecerdasan linguistik, logis-matematis, spasial, kinestetik, musikal, interpersonal, intrapersonal, naturalis, dan eksistensial. Oleh karena itu, pembelajaran tidak bisa hanya berfokus pada satu aspek kecerdasan tertentu, tetapi harus mampu mengakomodasi berbagai potensi yang dimiliki siswa.

Para motivator sering menggambarkan konsep ini melalui metafora kemampuan binatang. Ikan adalah ahli berenang, burung mahir terbang, dan kucing lincah dalam memanjat. Tidak ada satu pun dari mereka yang memaksakan keahliannya kepada yang lain. Burung tidak akan meminta ikan untuk belajar terbang, dan ikan tidak akan memaksa burung agar mampu berenang. Namun, ironisnya, manusia yang memiliki pemahaman tentang keberagaman justru sering kali gagal menerima perbedaan sebagai sesuatu yang alamiah dan sunnatullah seperti itu.

Dalam praktik pendidikan di sekolah, masih sering ditemukan pelabelan "bodoh" terhadap siswa yang tidak menguasai bidang studi tertentu. Padahal, bisa jadi mereka unggul dalam kecerdasan lain yang belum mendapat tempat dalam sistem pendidikan yang cenderung menyeragamkan. Konsep pembelajaran yang menghargai keberagaman seharusnya dapat menghapus stigma ini dan memberikan ruang bagi setiap anak untuk berkembang sesuai dengan bakat dan potensinya.

Sayangnya, di tengah upaya menerapkan pendidikan yang menghargai keberagaman di sekolah yang belum sepenuhnya dapat dijalankan itu, muncul fenomena sosial yang justru tampak berlawanan arah. Contohnya, dalam aspek keberagaman agama, muncul tekanan sosial untuk menyesuaikan salam antaragama dalam pidato atau pertemuan formal. Orang Islam merasa harus mengucapkan "Salam Sejahtera" untuk menunjukkan toleransi kepada umat Kristen, sementara umat Kristen merasa perlu mengucapkan "Assalamu'alaikum" agar dianggap menghormati umat Islam. Begitu juga dengan ucapan salam umat beragama lain seperti "Shalom" (Katolik), "Om Swastiastu" (Hindu), "Namo Buddaya" (Buddha), dan "Salam Kebajikan" (Konghucu). Padahal, sejak dahulu kala, masing-masing umat beragama sudah cukup dewasa dan saling memahami perbedaan ekspresi keagamaan tanpa harus memaksakan satu bentuk penyampaian kepada yang lain. Formalisasi ekspresi keagamaan semacam itu justru mendangkalkan apa yang sebelumnya telah tertanam dalam jiwa masing-masing umat beragama tentang toleransi. Sebagai Muslim, toleran sajalah saat menerima ucapan "salam sejahtera" dari saudaranya yang Kristen. Toh "salam sejahtera" juga semakna dengan "assalamu'alaikum". Begitu sebaliknya. Selain mendangkalkan, cara ucapan salam seperti itu juga hanya akan menambah panjang mukadimah pidato dan menghabiskan waktu hanya untuk sebuah seremoni. Bayangkan kalau jumlah orang yang berpidato lebih dari dua, plus MC.

Hal ini mengindikasikan adanya ketidakseimbangan antara konsep keberagaman yang diterapkan di sekolah dengan kecenderungan sosial yang justru memperumit makna keberagaman. Seharusnya, pendidikan mampu menanamkan pemahaman bahwa keberagaman adalah fitrah sehingga tak ada alasan apapun untuk menggunakannya sebagai senjata yang mengoyak-koyak kesatuan sosial, sebagaimana telah dijelaskan dalam konsep Bhinneka Tunggal Ika yang telah diwariskan sejak era Majapahit. Bahkan, dalam Islam, Allah telah menegaskan dalam firman-Nya:

"Sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan perempuan. Kemudian, Kami menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal." (QS. Al-Hujurat: 13)

Untuk menciptakan harmoni dalam pendidikan dan kehidupan sosial, perlu dilakukan refleksi mendalam terhadap konsep keberagaman sebagai bagian dari sunnatullah. Keberagaman bukanlah sesuatu yang harus dipaksakan agar seragam, melainkan sesuatu yang harus dihargai dan dikelola dengan bijaksana. Jika dunia pendidikan sudah memahami bahwa setiap siswa memiliki keunikan dalam belajarnya, maka dalam kehidupan sosial pun seharusnya ada penerimaan terhadap keberagaman tanpa perlu menciptakan konstruksi sosial baru yang membebani.

Dengan demikian, pendidikan tidak hanya menjadi sarana transfer ilmu, apalagi jika ini hanya terbatas di ruang kelas, tetapi lebih dari itu, juga menjadi wahana untuk membentuk karakter yang menghargai perbedaan sebagai sunnatullah. Jika hal ini dilaksanakan dengan baik, maka kehidupan akan lebih harmonis, dan segala bentuk paradoks dalam dunia pendidikan dan sosial dapat diminimalisir.

Cipinang, 8 Februari 2025

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline