Peter Cerey (peneliti sejarah Indonesia) pernah menerbitkan tiga jilid buku sejarah Pangeran Diponegoro pada tahun 2012 dalam bahasa Indonesia. Sebagai ilmuwan barat yang terbiasa menikmati kebebasan berpikir, ia berharap ada tanggapan kritis dari para akademisi Indonesia. Tapi ternyata itu tidak terjadi. Ia hanya menemukan "kesunyian yang memekakkan telinga" yaitu ada banyak tanggapan tapi tidak substantif. Inilah petikan dari tulisan Taufiqurrahman, dosen fakultas filsafat UGM beberapa hari lalu di harian Kompas.
Sejauh ini dunia akademik terlalu gaduh pada hal-hal simbolik dan seremonial yang tidak banyak terkait dengan pengembangan ilmu. Banyak sekali momen-momen penting dan bersejarah hanya berhenti pada aneka rupa perayaan dan upacara. Perayaan dan upacara bukan tidak penting. Tapi kedua hal ini bisa menjadi starting point bagi langkah-langkah yang lebih penting atau lebih subtantif. Sebagai sebuah pijakan awal, perayaan dan upacara bisa saja diadakan tapi sayogyanya ia tidak menjadi fokus yang harus diusahakan dengan segala daya upaya dan setelah itu berjalan dengan lancar, lalu menimbulkan rasa puas sebagai sebuah kesuksesan. Padahal itu baru titik mula untuk langkah-langkah selanjutnya yang lebih substantif.
Tidak mudah memang untuk mengubah kondisi hiruk-pikuk dan gebyar yang berhenti di permukaan, simbolisme-seremonial yang diagung-agungkan dan lain sebagainya. Sebab seperti yang dikatakan Taufiqurrahman, hal itu akibat dari kultur feodal yang sudah mengakar sejak lama dan oleh karenanya ia telah menjangkiti hampir semua aspek kehidupan. Pada aspek kekuasaan dapat dilihat bagaimana hubungan antara pimpinan dan bawahan. Hubungan paternalistik yang menafikan kesederajatan sebagai sesama manusia. Orang lebih merasa menghormati pimpinan dengan menyebut jabatannya daripada namanya. Pada aspek ekonomi terlihat bagaimana hubungan orang kaya dan miskin, majikan dan karyawan, dan seterusnya. Interaksi-interaksi di antara mereka kental sekali warna-warni dominasi dan subordinasinya.
Feodalisme memang mengasyikkan bagi mereka yang berada di barisan depan kekuasaan dan ekonomi. Tapi sangat destruktif bagi orang kebanyakan. Pemimpin feodal pasti anti kritik dan guru feodal akan memandang para murid sebagai obyek pembelajaran yang wajib patuh dan menyimak apapun yang dikatakatan guru.
Harus ada tekad sangat kuat untuk menghentikan kultur lama yang melemahkan di satu pihak dan terlalu menguatkan di pihak lainnya. Dalam konteks pembelajaran, penerapan kurikulum merdeka dapat menjadi pendorong bagi terciptanya interaksi guru-murid atau murid-guru yang lebih demokratis. Akankah ini bisa terwujud dan mengikis kultur lama yang anti demokrasi? Hingga sejauh ini nyatanya masih ada bias pemahaman terhadap kurikulum merdeka, merdeka belajar, merdeka mengajar, dan lain-lain. Sama seperti bias pemahaman terhadap kurikulum berbasis kompetensi dan aneka rupa kurikulum lainnya yang belum clear meskipun telah terbit kurikulum yang baru. Secara singkat bias-bias itu dapat kita temukan dari untaian satu kalimat ini, "Gonta-ganti kurikulum, ujung-ujungnya sama nanti seperti yang dulu". Dan suasana itupun benar-benar sepi, sunyi-senyap, dan hening tetapi sangat memekakkan telinga.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H