Lihat ke Halaman Asli

Ali Mustahib Elyas

TERVERIFIKASI

Bacalah atas nama Tuhanmu

Gender, Inklusi Sosial, Computational Thinking, dan Toleransi

Diperbarui: 2 Oktober 2021   19:59

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Isu gender masih menjadi 'barang' mahal di kehidupan sosial kita, tak terkecuali di lingkungan pendidikan dan bahkan di tengah-tengah mendiskusikan permasalahan itu.

Tampaknya masih ada problem yang menyangkut Computational Thinking, terutama sekali terkait dengan paradigma berpikir (pattern recognation). Dalam berpikir tentang gender misalnya masih terjadi bias. Kebanyakan kita masih menyematkan tugas-tugas sosial dengan jenis kelamin tertentu. Ketika kita diminta menggambar seorang tentara, polisi, dan petugas pemadam kebakaran rata-rata hasilnya adalah sosok laki-laki. Sedangkan perawat, pengasuh anak, juru masak digambarkan dengan sesosok perempuan.

Itu sebabnya dibutuhkan upaya untuk menata ulang pola pikir (dalam Computational Thinking disebut Pattern Recognation) yang tapat agar tidak terjadi problem bias gender dan bias pemikiran atas berbagai hal lainnya.

Tak ada perbedaan tajam antara laki-laki dan perempuan dalam melakukan tugas-tugas sosial. Tak ada eksklusifitas dalam persoalan ini dan persoalan sosial lainnya. Sebaliknya dibutuhkan sikap inklusif untuk menjamin setiap relasi sosial agar relatif aman dari guncangan.

Inklusi sosial dibutuhkan mengingat akan realitas sosial yang beragam. Sedangkan keberagaman diciptakan Tuhan agar terjadi proses 'taaruf' atau saling mengenal, menimbulkan rasa ingin tahu, mendorong untuk mengetahui secara lebih dalam dan detil melalui berbagai riset (Al-Hujurat, 13).

Satu hal lagi yang tak boleh dilupakan dalam menjalani kehidupan yang beragam adalah sikap tasamuh atau toleransi. Sikap hidup yang inklusif meniscayakan juga sikap toleran yang seluas-luasnya.

Toleransi merupakan salah satu cara untuk merawat keberagaman agar tetap terjaga keseimbangannya, proporsionalitasnya, dan asas-asas keadilannya. Dengan begitu setiap individu yang berbeda akan merasa leluasa untuk mengembangkan diri, berinovasi, berkreasi,  dan melakukan berbagai prakarsa lainnya. Tentu saja ini semua dilakukan tetap dalam bingkai budaya di mana seseorang itu tinggal bersama masyarakat lainnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline