Lihat ke Halaman Asli

Ali Mustahib Elyas

Bacalah atas nama Tuhanmu

Sayang! Aan dan Erianto Anas Telah Pergi

Diperbarui: 25 Juni 2015   01:52

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Pasti masih banyak yang ingat  nama-nama ini : Radix, Erianto Anas, dan yang terbaru Aan sang Filosof Kampung. Mungkin banyak orang mengingat mereka sebagai orang-orang aneh, liberal, sekuler, atau bahkan sebagai orang dengan tingkat ke-ngawur-an yang tinggi. Betulkah begitu?

Padahal boleh jadi menurut diri mereka sikapnya itu justru dianggap sebagai wujud kebebasan berpikir yang wajib diperjuangkan demi lestarinya ilmu pengetahuan. Atau sebagai wujud independensi pribadi untuk menyuarakan pemikirannya tentang obyek kajian yang sama namun dari sudut pandang yang berbeda. Bahkan syah-syah saja andai mereka dengan sadar dan sengaja merancang pemikirannya demi menghancurkan lawan-lawan idealismenya.

Itulah irama mereka. Irama itu mungkin muncul karena idealisme yang telah matang, setengah matang, atau malah sekedar kegenitan intelektual mereka saja karena masih meraba-raba untuk membangun eksistensi dirinya. Apapun itu, itulah irama dan dinamika intrinsik mereka. Yang terpenting buat orang lain adalah tetap bisa menjaga irama sendiri dan tidak terlalu terbawa oleh irama mereka yang terkesan berlawanan dengan 'arus besar'.

Pada titik itu rasanya orang lain bisa memanfaatkan pemikiran mereka sebagai semacam antitesa dari pemikirannya sendiri dan pada akhirnya bisa mengantarkannya untuk menemukan tesanya. Orang lain bisa tangkap gegap-gempita dan kegaduhan mereka sebagai sebuah ombak besar yang justru akan mempercepat laju kapal idealismenya sendiri asalkan  mampu menjaga keseimbangannya.

Tanpa sikap semacam itu atau sikap lain yang lebih positif, maka kegaduhan mereka hanya akan berpotensi destruktif yang dapat membakar orang lain bahkan diri mereka sendiri. Sayang! karena ternyata Erianto Anas dan Aan telah 'terbakar hangus' oleh ulahnya sendiri dan orang lain turut andil memperbesar 'api amarah' itu.  Kegaduhan pemikiran mereka gagal menjelma sebagai dinamika pemikiran karena kengototan mereka sendiri yang kolaboratif dengan lawan-lawannya yang ternyata tak kalah ngototnya. Puaskah orang karena telah sukses 'menghabisi  lawan-lawan  idealismenya? Mungkin untuk jangka pendek sangat memuaskan. Tapi untuk jangka panjang mereka akan merasa kehilangan lawan bicara yang mampu 'memprovokasi' pemikiran sendiri sehingga muncul pemikiran-pemikiran baru yang lebih fress. Sayang! Aan dan Erianto Anas telah pergi. Gak tahu ya kalau ada silumannya. Tapi ngapain repot-repot bicara soal siluman? Gak usahlah!




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline