Hujan November dan Secangkir Kopi Menjelma Kenangan
Hujan Bulan ini menyapa tak mengenal waktu
Tak hirau pagi, siang, petang, malam hingga subuh
Tempiasnya terpercik ke segala ruang membelah waktu
Sejumput kabar menggelinding di sela-sela dedaunan
Di selasar rumah orang-orang
Rinai air tak henti-henti menggenang
Di jalan-jalan arus menderas
Di tanah-tanah lapang meresap, tak meninggalkan bekas.
Aku menyukai hal ketika bulir-bulir air jatuh dari langit
Perihal racikan khas kopimu yang pahit
Aroma paling kuakrabi
Menjelma kenangan mengabadi
Hujan dan kopi
Semakin kental bercampur dalam alunan melodi
Deras hujan-kental kopi meresapi
Menyatu dalam bait-bait puisi.
Kopi kau suguhkan
Menjadi memori paling mengenaskan
Ia meraung-raung dalam ingatan
Hujan kian deras
Seperti kode alam paling keras
Ia memercik - mercik; menderaskan kerinduan
Akhirnya Aku menyadari
Jalan-jalan kian terjal untuk kembali.
Balikpapan, 15 November 2020
Ali Musri Syam Puang Antong
*Puisi Sebelumnya: Majelis Rindu
*Puisi Lainnya: Lelaki di Atas Pusara Ayahnya
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H