Masih terngiang ucapan Mas Mung kemarin malam di kamar bayi kami. Tangan kami tertaut mesra sembari menatap ranjang mungil itu. “Luar biasa ya, Dik Astri. Kamu tak pernah alpa minum pil itu, toh bisa isi juga perutmu,” ujar Mas Mung datar. Kalau saja ia tahu… Keajaiban itu aku sendiri yang jadi penyebabnya.
[caption id="attachment_208796" align="aligncenter" width="500" caption="Ilustrasi: levendewoorden.punt.nl"][/caption] Aku kenal Mas Mung lima tahun lalu. Sosok tampan itu mencuri perhatianku di syukuran ulang tahun salah seorang rekan kerjaku. Tak dinyana, kami bak dua kutub magnet langsung merekat—selera musik kami, humor garing kami, buku favorit kami… Malam itu kami berbincang intens dan selepas perayaan ultah itu, kami saling tertambat hati.
Hubungan kami sangat harmonis dan kami punya jalan pikiran yang sama seputar banyak hal. Tapi, ada satu hal yang sampai saat ini masih jadi ganjalan: keinginan punya momongan. Sejak umur 16 tahun, aku tahu suatu saat nanti bakal punya bayi. Kini, usiaku menginjak 35. Hasrat itu begitu menggelegak. Sel telurku seolah-olah bergolak hebat di rahimku.
Sayang, Mas Mung masih punya agenda lain yang lebih penting—berselancar di Bali, menyelam di Kepulauan Seribu, dan konvoi moge di Cisarua bareng gerombolan karibnya. “Mumpung ubanku belum rata di seluruh kepala,” kilahnya. Aku sendiri lebih senang mimpi menimang si buah hati dan berangan-angan mendengar kata pertama yang diucapkan bayi mungilku nanti.
Aku yakin, Mas Mung akan berubah pikiran kalau saja bayi itu betul-betul nyata di depan mata. Tujuh bulan silam, aku coba merajuk lagi. “Bukannya aku tak mau, Dik Astri. Aku belum siap. Paling tidak sekarang ini,” tegasnya seakan memvonis mati. “Duh, Mas. Mengapa kau tak peduli jeritan hati ini. Jam biologisku makin berdetak kencang seperti bom waktu,” batinku.
Berapa lama lagi aku harus menunggu? Aku lelah membujuk dan meredam emosi. Sudah banyak sahabatku jadi korban perceraian karena masalah satu ini. Tekadku sudah bulat, kuambil jalan pintas. Sebulan penuh, pil kontrasepsi itu kubilas di jamban. Pil laknat itu tak lagi mengawal taman firdausku. Mas Mung masih sabar menanti, tapi lain halnya dengan tubuhku!
Untung, tubuhku mau diajak kompromi. Haidku terlambat beberapa pekan dan tes dokter menyatakan positif kehamilanku. Mas Mung syok dan masih belum percaya. Bertahun-tahun menggeluti bagian pemasaran di biro periklanan, lidahku makin lihai berkelit dan membual. Perlahan kujabarkan, tak ada kontrasepsi yang ampuh 100% sambil kuperlihatkan data-data medis dari internet.
“Lagipula, Yang Maha Kuasa punya kehendak lain, Mas,” tambahku mencoba menenangkan. Aku khawatir, Mas Mung hendak melontarkan ide aborsi. Tapi, ia tahu keinginanku yang menggebu ihwal kehamilan ini. Syukur, ide pengguguran itu tak pernah terbesit di pikirannya. Kendati Mas Mung sempat diam beberapa waktu, lambat laun ia berubah sikap dan turut aktif menyambut si kecil.
Kamar kerjanya ia rombak jadi kamar bayi. Ia mulai cari tahu soal kereta dorong bayi dan membuka situs tentang pagar kayu tambahan untuk tangga di rumah kami. Binar matanya pun memancarkan kebanggaan sewaktu kumpul dengan teman-teman dekatnya. Tak sia-sia aku berdusta. Jabang bayi ini adalah rahmat tak terhingga. Terbukti, Mas Mung siap jadi ayah yang sigap dan serba bisa.
Kuusap perutku yang makin buncit ini. Tetesan air mata membasahi pergelangan tanganku. Kuseka bulir-bulir itu. Ada firasat lain yang menghantui. Aku merasa berdosa menipu suamiku sendiri—ayah janin di kandunganku. Mengapa kupaksa Mas Mung menjadi dewasa sebelum waktunya? Egoiskah aku? Dulu, sejawat kantorku pernah mencapku Astri Manipulasi. Maafkan aku, Nak… Maafkan aku, Mas…
Amsterdam, 26 Agustus 2012
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H