Lihat ke Halaman Asli

Lebaran dan Erotisme

Diperbarui: 25 Juni 2015   01:29

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1345540075935970446

Saya termasuk non-muslim yang ikut puasa. Kan Ramadan adalah bulan pencerahan dan introspeksi. Jalan kemenangan menuju Aidil Fitri. Pintu maaf dibuka lebar, dusta dijauhi, prasangka buruk dan caci-maki dihindari. ‘Benang kusut’ pun, entah itu dengan keluarga atau kekasih, sedapat mungkin diluruskan menjelang puasa. Walaupun pada praktiknya, saya kenal cukup banyak perseteruan keluarga muslim di Belanda yang tak lekang dilibas Ramadan. Jangan berharap pula bertemu muslim bertabiat ramah pada hari pertama bulan puasa di Belanda. Maklum saja, kurang tidur dan kurang kafein ikut mempengaruhi perangai mereka.

Saya pun kerap mendapat undangan untuk menghadiri perayaan Aidil Fitri. Meski kadang segan datang, saya dengan senang hati menyambutnya. Tiap tahun, Aidil Fitri juga mulai jadi hari raya yang diperhitungkan di Belanda. Suikerfeest kata orang Belanda. Ini bukan islamisasi, melainkan hospitality penganut Islam di Belanda. Perbedaan itu rahmat dan tidak ada salahnya. Biasanya, resepsi Lebaran di Belanda strict tanpa tetesan alkohol, kendati sesudahnya banyak warga Belanda muslim yang mabuk-mabukan dan bikin onar. Terutama anak-anak muda sering membuat rusuh selepas merayakan Aidil Fitri. Orang mafhum, darah muda dan hormon sedang menggelegak.

Rekan saya Iqbal, imigran Aljazair, pernah berkomentar, agresi itu mungkin ada hubungannya dengan puasa. Ibarat jalanan macet sebulan penuh, akhirnya mereka lega keluar dari labyrinth. Lebaran ada di depan mata! Tak perlu membesar-besarkan insiden kecil tersebut. Aidil Fitri itu selegit madu dan seharum kayu manis. Walaupun kadang kebablasan, tak jadi soal membiarkan orang bersukacita setelah menang melawan hawa nafsu, emosi, lapar, dan dahaga.

Menarik disimak, puasa—yang kini identik dengan momentum religius di agama apa pun—konon bersumber dari kebiasaan pastoral atau penggembala yang mengamankan ternaknya di akhir tahun. Jelang penghujung tahun, mereka menyembelih sebagian ternak dan melumuri tenda mereka dengan darah hewan yang disembelih pada hari ke-14 bulan pertama. Ini adalah Festival Tahun Baru atau pesta panen. Sebuah ritual perjalanan hijrah ‘menyeberang’ musim. Suikerfeest (pesta gula) sendiri adalah terjemahan langsung bahasa Belanda dari bahasa Turki Küçük- atau Şeker Bayramı.

[caption id="attachment_207906" align="aligncenter" width="360" caption="Ilustrasi: Koen Verheijen"][/caption]

Dalam bahasa Arab orang kenal Ied-al-Fitr (saat menghentikan puasa) atau Ied-as-Saghír (pesta kecil). Pesta kecil? Ya, pesta besar sebenarnya adalah Hari Raya Kurban atau Aidil Adha. Tak usah dibahas salah-kaprah itu. Şeker atau suiker berarti gula dan merujuk pada panganan, manisan, dan kue-kue berkadar gula tinggi yang biasa dihidangkan atau diberikan sebagai bingkisan Lebaran.

Saya lebih melihat Aidil Fitri sebagai festival panen, pesta zakat ‘belas kasih’ (bukan kasihan lho…) atau jika Kompasianers sedikit berfalsafah, tindak-tanduk manusia di bumi bakal memberikan kembali ‘buah’ dari apa yang mereka tanam. Ini memiliki aspek seksual atau regenerasi. Ada ungkapan, perempuan adalah ladangnya laki-laki. Tapi, hati-hati, ladang itu penuh ranjau pula. Inga-inga! Bumi alias mother earth pun sarat godaan dan jebakan.

Dulu, sewaktu merayakan Lebaran di Indonesia, pintu rumah-rumah terbuka lebar, siapa saja boleh mencicipi kudapan dan anak-anak mendapat uang jajan ekstra. Uang saku mingguan kami tidak seberapa waktu itu. Beberapa hari sebelum hari besar kami pergi ke pusat kota untuk membeli baju dan sepatu baru. Jika Aidil Fitri dipandang sebagai festival panen, kami sekeluarga boleh menikmati ‘buah kebajikan’. Sah-sah saja sekali-kali tampil beda, rumah dibenahi, dan bertaburan bunga. Lebaran adalah kegembiraan ‘panen’. Manusiawi kok bersolek diri dan bersuka cita menyambut kemenangan setelah ditempa kesabaran dan diuji empat pekan.

Lalu, di mana segi seksualnya? Cukup lama bermukim di Negeri Kincir Angin, saya terbiasa dengan kue-kue khas pendatang muslim asal Maroko, Turki, Lebanon atau jazirah Al-Maghribi lainnya, terutama zalabia dan ghribia. Zalabia adalah sejenis gorengan berbentuk tapal kuda yang dilumuri madu dan biji wijen, sedangkan ghribia adalah kue berbentuk bulat cantik dengan taburan bubuk kayu manis di ujungnya—mirip nastar di Indonesia.

Nah, bentuk kue-kue tersebut sangat erotis. Di zaman baheula, tapal kuda adalah simbol keberuntungan dan kelamin wanita. Ghribia atau nastar berhias cengkih itu mirip payudara dan puting perempuan.

Orang Arab sendiri menyebut madu dan kayu manis salah satu ragam afrodisiak. Sastra Persia kuno pada abad VIII menjabarkan vagina sebagai berikut: “Taman surgawiku memiliki lembah Venus bergelombang, padat dan sintal, pintu mahligai bak zalabia…” Di Abad Pertengahan, ibu-ibu sengaja duduk di adonan roti dan bahkan mencampurnya dengan darah haid sebelum dipanggang. Menjijikkan? Itu wujud kasih sayang mereka.

Ah, Ramadan dan Aidil Fitri tak pernah habis jadi sumber inspirasi. Lebaran itu manis dan erotis…

Amsterdam, 1 Syawal 1433 H

12991788471689539536




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline