Lihat ke Halaman Asli

Mudik ala Nightrider

Diperbarui: 26 Juni 2015   02:23

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

12991788471689539536

Siapa yang tidak kenal mudik? Di Indonesia, tradisi ini biasanya marak menjelang Lebaran. Penumpang rela berdesak-desakan dan kadang mempertaruhkan nyawa untuk mengobati rindu dengan keluarga di kampung halaman. Entah naik kereta api, bis antar kota, motor, budget air, mobil pribadi atau sewaan, dan kapal laut. Peduli kata orang. It’s all about the journey, not the destination..

[caption id="attachment_132089" align="aligncenter" width="600" caption="Ilustrasi: NRC Handelsblad"][/caption] Di Eropa pun, ada kebiasaan mirip selama liburan musim panas. Biasanya, penduduk Eropa yang tinggal di bagian utara secara massal dengan kendaraan pribadi plesiran ke daerah selatan melewati Perancis, terutama untuk mencari udara yang lebih hangat. Akibatnya, rute menuju wilayah tersebut macet ratusan kilometer dan pengendara harus antri berjam-jam. Fenomena ini disebut black Saturday dan tahun 2011 ini jatuh pada 30 Juli lalu. Sebagian cukup cerdik menyiasati ‘monster’ alias terjebak macet total ini dan memulai perjalanan setelah matahari terbenam atau menjelang tengah malam. Selain jalanan lengang, alasan rasional lainnya adalah menghemat biaya penginapan dan bisa sampai di tujuan pagi hari atau masih ada satu hari penuh untuk beraktivitas. Namun, banyak pula pengendara yang terpaksa jadi nightrider karena motel di seputar jalan tol penuh atau tak sengaja kesasar. [caption id="attachment_132091" align="alignright" width="300" caption="Ilustrasi: NRC Handelsblad"][/caption] Kadang, sistem navigasi canggih atau buku petunjuk jalan pun kalah cepat dengan perubahan situasi jalan. Tidak terasa, jarum jam sudah menunjukkan pukul 2 dini hari. Point of no return.. Tak ada ranjang, tak ada pilihan lain. Setir terus sampai tujuan. Bukan pula keputusan keliru. Masih banyak pengemudi lain bernasib sama. Di tempat parkir gratis atau lokasi istirahat bagi supir jarak jauh, ada sedikit rasa lega sewaktu melihat caravan dengan nomor dan kode negara yang sama. Buah hati sudah terlelap di jok belakang. Tak ada lagi celoteh yang bikin kepala pening. Sayup-sayup, CD kesayangan bisa diputar berulang-ulang. Tak ada yang protes almarhum John Denver dengan suara khasnya. Uniknya, obrolan ringan dengan pasangan di siang hari menjadi ‘berat’ di kegelapan malam. Ah, hitung-hitung terapi pasutri cuma-cuma. Kendati demikian, bahaya pun ikut mengintai. Didera kantuk, konsentrasi gampang buyar. Apalagi, karena jalanan sepi, pedal gas diinjak makin dalam. Melewati pompa bensin, keraguan lain muncul. Jalan terus atau rehat sejenak. Di luar gelap dan hitam pekat. Tak ada tanda kehidupan. Kembali melirik arloji, tepat pukul empat. Tidak ada gunanya power nap. Mungkin secangkir kopi dapat membangunkan adrenalin. Lebih baik daripada tidur ayam. Lagipula, losmen makin langka ditemui di pelosok. Kegigihan diberi imbalan setimpal. Sekalipun jalur propinsi tak semulus jalan tol, tujuan akhir ada di depan mata. Tak ada pencoleng dan kandung kemih dapat segera dikosongkan. Cek sekali lagi alamat di peta dan liburan pun dapat dimulai. Embun pagi masih menggelayut di ranting cemara. Semburat matahari muncul malu-malu di ufuk timur. Country roads, take me home, to the place I belong..

Amsterdam, 29 Agustus 2011

P.S. Selamat merayakan Aidil Fitri bagi Kompasianer muslim dan tim pengasuh di mana pun berada. Kembali ke fitrah suci, bersih di hati, dan damai di Kompasiana. Salam takzim dari Lowlands.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline