Lihat ke Halaman Asli

Bencana Sendai, Antara Fatalisme dan “Shoganai”

Diperbarui: 26 Juni 2015   07:42

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1300409699179087245

Gempa bumi adalah momok paling menakutkan sekaligus ‘musuh bebuyutan’ orang Jepang. Bencana alam ini datang tak diprediksi dan lebih sadis dibanding teroris. Kendati orang Jepang sudah biasa diguncang gempa, rasa khawatir itu tetap ada. Inikah gempa terbesar yang dinanti-nanti? Atau cuma intro? Mungkinkah kota kami terlewati? Demikian media internasional menggambarkan sikap nisbi penduduk Jepang menanggapi musibah.

[caption id="attachment_96730" align="aligncenter" width="600" caption="Ilustrasi: Reuters"][/caption]

Fatalisme bukan barang baru di Jepang. Orang Jepang tak gentar menghadapi bencana alam atau nasib buruk. “Shoganai!” Seruan yang sering mengakhiri debat sengit di kalangan orang Jepang ini dapat diterjemahkan bebas ‘tak ada lagi yang bisa dilakukan’. Ungkapan ini tak hanya berlaku untuk gempa, tapi juga menyangkut korupsi atau kegagalan politik.

Menahan nafas dan menunggu. Tak ada jalan lain menghadapi detik-detik menegangkan itu. Begitu gempa terasa, penduduk Jepang sigap segera mematikan tungku pemanas dan kompor (api lebih berbahaya di Jepang karena banyak rumah terbuat dari kayu), membuka semua pintu, dan berlindung di bawah meja.

Setelah guncangan mereda, biasanya di televisi langsung terlihat info seputar gempa yang baru saja terjadi: lokasi, kekuatan, kemungkinan tsunami, kerusakan, korban, dan seterusnya. Kemudian, kehidupan berjalan normal lagi. Ambil nafas lega dan life must go on!

Pertengahan 2004 lalu, saya bermukim di Amstelveen, kota satelit di selatan Amsterdam yang kerap dijuluki Little Tokyo on the Amstel River. Tetangga saya waktu itu sepasang expat Jepang, Yuki dan Keiji. Jumat silam (11/3) kami sempat mengirim kabar melalui SMS dan chatting lewat MSN. “Gempa itu datang dan pergi,” tulis Yuki. “Saya pernah mengalami gempa susulan lebih dari 300 kali dalam seminggu saat tinggal di Niigata,” lanjutnya enteng.

Tokyo, ibukota Jepang, diramalkan akan mengalami gempa hebat tiap 80 tahun. Gempa berkekuatan 7,9 pada skala Richter pernah mengguncang megapolitan Nippon itupada 1923. Gempa tersebut menelan lebih dari 100.000 korban jiwa, terutama karena kebakaran dan ‘perang darah’ dengan Korea. Waktu itu, Jepang menuding Korea sebagai penyebab gempa.

Sejak itu, Jepang mulai berbenah dan pemerintah setempat rutin mengadakan latihan evakuasi, serta memperketat syarat bangunan bertingkat. Catatan terakhir gempa terparah di Jepang terjadi di Kobe pada Januari 1995. Gempa berkekuatan 6,8 pada skala Richter itu ‘cuma’ menewaskan 6.434 orang.

Tiba-tiba saya ingat Ryuichi, ayah Yuki. Ryuichi-san adalah veteran Perang Dunia II yang pernah ditugaskan di Cina dan Kalimantan. Penghujung 2005, sosok renta itu berkunjung ke Belanda memborong umbi tulip dan banyak memotret kincir angin. Ryuichi-san adalah orang asli Kobe dan saksi hidup gempa 1995. Ia bercerita, “Saya sedang mengantar selebaran ke rumah penduduk sekitar. Tahu-tahu, semua berguncang hebat. Saya pikir, ini akhir hidup saya.”

“Generasi muda perlu belajar hidup prihatin. Tapi saya bangga melihat mereka saling menolong dalam keadaan susah dan tak ada penjarahan. Padahal, dalam keadaan terjepit biasanya nafsu iblis akan menguasai manusia,” tambah si kakek gaek Ryuichi. Sorot matanya masih tajam, meski wajahnya penuh kerutan dimakan zaman. Ia menuturkan, “Teman seangkatan saya banyak yang bunuh diri menghadapi sulitnya hidup. Saya bisa memahami mereka. Nasib baik dan buruk itu selalu bergandengan.”

Boleh jadi, falsafah hidup Ryuichi-san terkesan pasrah dan nrimo. Tapi, dihadang rentetan bencana, orang Jepang makin dewasa dan menunjukkan disiplin luar biasa. Pers Barat pun memuji sikap tenang rakyat Jepang menghadapi musibah. Memang, suratan hidup tak dapat dielakkan. Namun, nasib ada di tangan sendiri. Akal sehat tetap harus dipakai. Tak ada gunanya panik dan histeris.

Yuki sendiri lebih khawatir bencana nuklir seperti di Chernobyl atau tragedi Hiroshima dan Nagasaki bakal terulang. “Kami dilatih setiap tahun menyiasati gempa dan tsunami. Tapi, tak pernah sadar bahaya radioaktif mengintai. Kalau pemerintah menyatakan situasi terkendali, saya justru akan angkat kaki dari rumah. Saya teratur menonton saluran televisi NHK. Tampaknya, pemerintah masih menyembunyikan informasi. Kesabaran rakyat pun ada batasnya,” pungkas Yuki menutup chat.

Amsterdam, 18 Maret 2011

12991788471689539536

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline