Dalam sebuah acara antara Gita Wirjawan dan Nisa Felicia Faridz, ditektur excecutice PSPK mendiskusikan hal yang sangat menarik mengurai masalah pokok pendidikan dasar hingga tinggi di Indonesia di Perpustakaan Nasional. Hal tersebut bisa kita lihat di youtube Gita Wirjawan dan saya akan mencoba untuk merangkum dari pembicaraan tersebut yang menurut saya sangat menarik sebagai refleksi diri kita sebagai seorang pendidik.
Jika merujuk PISA pendidikan Indonesia masih dikategorikan rendah yaitu masih berkutat dalam kurangnya literasi dan numerasi. Kenapa Literasi dan Numerasi merupakan hal yang dianggap sangat penting karena kedua hal tersebut merupakan pusat dari segala hal. Peserta didik apapun cita-citanya di masa depan akan membutuhkan elemen literasi sebagai modal mereka. Untuk itulah elemen ini dianggap sebagai modal utama belajar sepanjang hayat.
Namun di Indonesia Lietrasinya sangat rendah hanya 25% saja anak-anak 15 tahun yang bisa mencapai standar minimum untuk Literasi bahkan Numerasi prosentasenya lebih rendah lagi. Hak ini menjadi issue yang sangat penting karena literasi sebagai modal belajar. Selain Literasi yang mendorong kemungkinan orang untuk belajar, PISA juga mengukur seberapa kuat kita mau belajar. Jadi kalau mau dan mampu belajar sepnjang hayat maka membutuhkan kemampuan dan kemauan literasi. Dalam hal kemauan, hal ini juga dilihat sebarapa yakin anak-anak Indonesia mau terus belajar sepanjang hayat. Growth Mindset (Pola pikir untuk terus berkembang) juga hal yang disurvey dan dipelajari oleh PISA, sebuah pemikiran bahwa "Kalau saya belajar maka saya akan bisa lebih baik" kemampuan bahwa "Kalau saya belajar saya akan bisa membuat perubahan" namun anak-anak Indonesia masih di pandang rendah dalam hal kemampuan Growth Mindset.
Pemikiran yang paling membudaya dalam masyarakat kita adalah "belajar untuk lulus" bukan untuk penasaran (curiosity) dalam ilmu pengetahuan, bukan didorong curiosity bagaimana supaya bisa menyelesaikan masalah-maslaah yang semakin kompleks di dunia ini. Seperti dalam hal Global Warming, acapkali dalam pemikiran kita hanya muncul dalam mata pelajarn IPA namun isu tersebut telah menjadi tantangan yang sangat kompleks. Inilah tantangan-tantangan yang dihadapi di dunia pendidikan bahwa pendidikan kita belum mampu untuk membangun sepenuhnya rasa ingin tahu yang kuat, kecintaan terhadap ilmu pengetahuan, rasa penasaran untuk mau dan terus belajar. Selama ini generasi kita masih terjebak seolah-olah manusia itu belajar agar lulus dan setelah lulu bekerka dan setelah kerja tidak harus belajar lagi. Hal ini yang sekarang pelan-pelan yang harus diubah, bagaimana untuk menjadi belajar sepanjang hayat, cinta ilmu pengetahuan dan tidak mudah bosan untuk terus belajar.
Melihat hal tersebut Gita Wirjawan berpendapat, untuk mengubah hal tersebut membutuhkan hal yang cukup waktu. Karena berhubungan dengan struktur dan tidak melihat adanya budaya seperti mengharuskan generasi di rumah, di kantor, di sekolah, di institusi sosial dan di manapun untuk berdiskusi dan menunjukkan rasa ingin tahu yang kuat. Dengan kata lain di Indonesia belum ada political culture untuk mendorong budaya curiosity tersebut di kalangan generasi kita.
Nisa menambahkan perubahannya memang tidak bisa secara cepat dan perubahannya memang harus sistemik. seperti perdebatan yang sering kita dengar "Mana yang lebih penting, perubahan kurikulum atau meingkatkan kualitas guru?" keduanya sangat penting dan harus berjalan beriringan karena kurikulum adalah alat bantu untuk mengajar jadi kalau alat bantunya itu tidak mendukung guru untuk bekerja lebih baik, maka kita tidak bisa mengandalkan guru-guru untuk berkualitas yang lebih baik. Jadi seberapa baik gurunya namun kurikulum tidak mendukung maka juga tidak bisa berjalan, juga sebaliknya seberapa bagus alat bantu namun digunakan oleh orang yang tidak kompeten maka tidak akan menjadi apa-apa.
Jadi menruut Nisa kita jangan lagi berdebat mana yang lebih penting karena semua hal yang penting bisa berjalan beriringan. Yang paling penting dan patut diperhatikan adalah memberikan waktu, jadi " Apa sih yang menjadi masalah dalam kebijakan pendidikan kita?" adalah waktu. Seolah-olah kurikulum dicetuskan hari ini, guru bisa melakukannya besok. bahkan penelitian menunjukkan guru membutuhkan waktu 7 tahun untuk terampil menggunakan kurikulum apabila guru tersebut setiap hari mempelajarinya. Jadi kalau sekali pelatihan atau bimtek dan kemudian ditinggal dan tidak secara kontinyu dipelajari maka akan membutuhkan waktu lebih lama lagi. Hal inilah yang perlu difikirkan bahwa negara sering membuat perubahan-perubahan yang sering terjadi namun tanpa memberikan waktu kepada guru untuk belajar maka menjadi hal penting bagia guru untuk diberikan untuk mengimplementasikannya sebagai proses belajar.
Jangan memandang implementasi sebagai suatu kepatuhan, maka menurut Nisa kenapa kita tidak mempunyai budaya curiosity secara keseluruhan karena kita tidak tidak mempunyai rasa percaya kepad guru, semuanya top down dan didasari oleh rasa distrust (tidak percaya ) Inilah yang sedang diputar oleh merdeka belajar namun proses ini membutuhkan waktu. Sebelumnya guru diarahkan sangat detail oleh kebijakan, "Kamu harus mengajar ini, kemudian mengajar itu , dalam setahun kamu harus ngajar ini dsb". Sekarang ini tiba-tiba kurikulum merdeka mengubahhal itu, memberikan keleluasaan guru karena filosofinya bergeser dari yang sebelumnya distrust seperti "gurunya gak bisa nih kalau tidak dipandu satu persatu" menjadi trust sebagai seorang pemimpin pembelajaran yang harus bisa. Perubahan yang baik ini tentaunya butuh waktu dan semoga tidak berubah-berubah lagi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H