Indonesia merupakan negeri yang unik dan cenderung berbeda dengan negara lain. Dalam hal sosial budaya negeri ini tidak habis-habisnya menemukan cara baru dalam hal apapun di ranah sosial. Sebut Saja beberapa tahun lalu kita di hebohkan demam batu akik yang konon memang `sengaja` dimunculkan oleh para Kolektor dan berhasil menggerakkan ekonomi masyarakat dari kaum marjinal hingga artis yang sebelumnya akrab dengan entertain berubah hafal nama-nama batu akik serta daerah asalnya.
Beberapa kota bahkan mendirikan pasar khusus batu akik sehingga masyarakat diuntungkan dari segi ekonomi. Namun demam batu akik akhirnya meredup, batu yang dulunya seharga puluhan hingga jutaan rupiah kini hanya sebatas harga receh. Fenomena kedua akhirnya muncul demam bunga hias meskipun sebelum batu akik demam bunga hias juga pernah menghiasi kehebohan di masyarakat kita.
Bunga-bunga yang biasanya kita temukan di desa, di kebun rumah bahkan di klaim sebagai bunga hama dan beracun namun tiba-tiba bunga tersebut terangkat derajatnya dan dimanjakan oleh manusia sebagai koleksi dan berharga mahal. Apakah sampai sekarang bertahan? jawabanya juga tidak, nasib sang bunga juga meredup meski masih bertengger untuk hiasan bagi kolektor. Selanjutnya demam ikan cupang juga demam-demam lain meski tingkatnya berbeda.
Dari kolektor kini Indonesia dihebohkan dengan sebuah deman yang bukan dari kolektor namun dari gejala fenomena sosial yang di sebut dengan CFW (Citayam Fashion Week). Gejalanya sama, anak-anak yang dulunya termarjinalkan dan tidak mendapatkan perhatian secara khusus bahkan cenderung berpendidikan rendah kini berhasil menggetarkan masyarakat seluruh Indonesia.
Demam CFW juga merambah di berbagai kota di Indonesia yang ingin AMT (Amati Tiru Modifikasi) dari kegiatan tersebut. Kita dapat mengamatinya dari kota Bandung yang menamakan kegiatan mereka dengan Braga Fashion Week yang dilakukan di pertigaan Jalan Braga. Di Surabaya kita dapat menemukannya di jalan Tunjungan, berbeda dengan Malang yang menamakannya dengan Kayutangan Street Style , Di Semarang dapat di temukan hal serupa di Simpang Lima Semarang, Medan di jalan Ahmad Yani , Yogyakarta di Malioboro, dan beberapa kota lain seperti Madiun dan Ciladak.
Namun apakah hal ini sebatas Demam? atau memang sebatas kampanye sosial yang berbalut fashion?
Sebuah ide dan fenomena sosial seperti di atas jika kita amati dengan seksama kita akan menemukan kemiripan yang akhirnya akan kita simpulkan akan bertahan berapa lama gejala tersebut. Pertama Faktor Orisinalitas ide. Ide CFW adalah orisinil dari anak-anak dukuh atas yang berawal dari tempat tongkrongan sebagai tempat sosialisasi anak muda tertentu. Namun media tiba-tiba mem blow up sebagai berita yang menarik. Namun jika sebuah ide hanya ditiru tanpa kreatifitas maka kadang tidak diterima oleh masyarakat sekitar karena kondisi sosial masyarakat tertentu yang berbeda.
Ide CFW mungkin dapat besar di Ibu kota namun belum tentu akan hidup di kota lain. Mengapa tidak mencoba membuat ide baru yang ramah dengan budaya setempat dengan memodifikasinya secara apik tanpa harus meniru apple to apple. Jika hanya meniru maka tidak akan bertahan lama.
Kedua Faktor Support System , setelah CFW heboh di medsos tiba tiba lokasi cebra cross tempat CFW sangat ramai. Anak-anak yang sebelumnya hanya berkespresi dengan HP murah dan merekam demi kepentingan kelompok mereka sendiri, kini berjibun dengan kamera DSLR, Mirorless, HP mewah dan segudang artis serta orang-orang yang good looking mencoba `merampok` tempat mereka. Para pencetus ide tersebut merasa tidak nyaman, sampah bertebaran dan terjadi fenomena sosial yang cenderung memperburuk citra CFW.
Akun-akun media sosial bahkan dan para youtuber juga memanfaatkan untuk membuat konten demi cuan mereka sendiri dan apa kabar dengan `tuan rumah`? alasan orang-orang ini yang sebenarnya `tamu`` ini adalah mensupport kegiatan CFW bahkan terdapat dua perusahaan besar yang ingin mendaftarkan nama CFW ke HKI meskipun akhirnya dibatalkan. Ketika makin meledak dan menjamur dan mengganggu faslitias pada akhirnya muncul CFW akan di buabarkan karena mengganggu ketertiban umum. Pemerintah tudak ada salahnya membubarkan karena memang mereka punya kewajiban kepada warganya menjaga fasilitas umum yang nyaman, namun bukan berarti membungkam kreatifitas yang ada. Setidaknya ada jalan keluar dengan mengalihkan kegiatan mereka di tempat yang seharusnya. Ketika CFW hilang, tuan rumah bubar namun para pencari konten akan tetap hidup dan menikmati cuan mereka. Jika tidak ada dukungan dari stake holder terkait maka secepat kilat fenomena kreatifitas ini akan hilang dan musnah.
Ketiga Kampanye Model Baru, CFW telah mengundang perhatian dari berbagai pihak. Tidak hanya anak muda, namun artis terkenal di layar kaca, youtuber terkenal hingga tokoh politik yang di gadang-gadang mencalonkan diri sebagai presidenpun ikut `nimbrung`` demam ini.