Beberapa waktu yang lalu dunia pendidikan berduka dengan meninggalnya 11 siswa dari MTs Harapan Baru Pesantren Ciajantung akibat terseret arus dan tenggelam karena mengikuti kegiatan berupa susur sungai di sungai Cileiuer.
Masih di kabupaten yang sama, Ciamis, 21 anggota Pramuka SMAN 1 Ciamis dilaporkan masuk ke rumah sakit karena dipaksa saling hajar oleh seniornya dalam kegiatan lingkaran setan. Semua kegiatan tersebut dalam lingkup kegiatan kepramukaan.
Menurut berita yang beredar seperti yang telah dimuat di program khusus di salah satu TV swasta acara lingkaran setan ditujukan untuk memilih ketua sangga dengan cara peserta calon ketua sangga melingkar dan mereka saling menampar, bagi yang bertahan dialah yang akan terpilih. Akibatnya ternyata banyak peserta yang mengikuti kegiatan tersebut yang babak belur, masuk rumah sakit.
Demikian juga kegiatan susur sungai yang jika kita memikirkan lebih mendalam manfaatnya lebih kecil daripada resiko yang ditanggung oleh peserta dan mungkin sebelumnya tidak pernah di fikirkan bahwa resiko ini juga akan berakibat kepada pelaporan kepada pihak yang berwajib.
Mungkin peristiwa di kabupaten Ciamis hanyalah peristiwa gunung es yang jika kita telusuri lebih jauh maka akan ditemukan metode pembelajaran pramuka yang old fashion serta masih belum bergeser ke modernitas. Hal ini diakibatkan oknum-oknum kakak pembina yang tidak meluangkan waktunya untuk belajar Kembali tentang apa yang telah berubah di dunia ini sehingga miskin referensi.
Yang dia gunakan hanyalah metode turun temurun yang dimasa lalu mungkin saja melahirkan orang-orang tangguh sehingga metode tersebut terus dipakai sebagai tradisi turun temurun, tidak disadari bahwa zaman sudah berganti. Dimasa lalu mungkin metode seperti ini masih dimungkinkan karena sesuai zaman pada waktu itu yang bergantung kepada alam dan tentunya pendidikannya juga bersama alam dan bersifat fisik.
Bahkan ketika penulis masih menjabat menjadi Ketua Racana waktu di bangku kuliah, penulis pernah diundang ke salah satu perguruan tinggi dalam rangka kegiatan lomba tingkat pandega yang justru penulis temukan Ketika kakak Pembina mengucapkan selamat tidak hanya dengan berjabat tangan tetapi ditambah `pukulan sayang` ke perut semua peserta sebagai wujud kebanggaan.
Namun hal ini tidak bisa dipukul rata dan tentunya sebelumnya kejadian tersebut sudah diperhitungkan kondisi fisik peserta kegiatan. Yang menjadi pertanyaan apakah kegiatan pramuka hanya melulu masalah fisik? Lebih jauh lagi apakah kegiatan pramuka sekarang mampu merespon dan menyesuaikan dengan tuntutan zaman?
Perspekstif yang terbangun sejauh ini pramuka diidentikkan dengan kemiliteran, memakai baret, simbol-simbol ala militer yang membuat bangga para adik-adik karena berpenampilan gagah. Anggapan dunia pramuka lebih bernuansa militer bisa dilihat dari sejarah pendiri pramuka itu sendiri yaitu, Lord Baden Powell of Gilwell. Dia sendiri berlatar belakang militer Inggris, seorang Letnan Jenderal yang awal mulanya berbagi cerita pengalaman hidup di alam yang sangat menyenangkan seperti berburu, berkemah, berenang, membuat tali temali, membuat api unggun dll.
Cerita itu dia bukukan dalam bukunya Scouting for boys agar bisa dinikmati oleh remaja seluruh dunia untuk menempa mental dan fisik mereka dengan cara menyenangkan. Kejadian tersebut terjadi pada tahun 1900-an tepatnya tahun 1907 ketika Baden Powell masih di militer.
Lambat laun organisasi ini mendunia dan konsep penerapan kegiatan dan metode masih berdasar pada buku besar tersebut. Di Indonesia sendiri pramuka diartikan dari kata poromuko yang berarti pasukan terdepan dalam perang. Meskipun diambil dari kata yang masih berbau militer namun jika kita menelaah lebih jauh arti pramuka menurut istilah sebenarnya adalah bertujuam mendidik anak muda yang kuat, sehat dan bermuara pada watak mulia.