Lihat ke Halaman Asli

Ali Maksum

Education is the most powerful weapon.

Menyegarkan Kembali Nilai Keberagamaan Kita

Diperbarui: 20 Januari 2022   16:53

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Baru-baru ini ramai dibicarakan tentang kasus yang terindikasi mencederai kerukunan umat bergama yaitu aksi relawan semeru yang menendang sesajen. Setelah beberapa hari akhirnya tersangka yang muncul dalam video tersebut ditangkap. Alasan yang diungkapakan kenapa dia melakukan hal tersebut adalah "karena sesajen tidak sesuai dengan hal yang dia yakini". Menurut saya hal ini cukup mengherankan kenapa di negara Indonesia yang beragam suku, bangsa , ras dan bahkan keyakinan ini masih ada ungkapaan kalimat seperti itu. Kemungkinnya bisa saja terjadi karena Pendidikan yang ditempuh sebelumnya lebih bersifat homogen sehingga agak risih jika menerima perbedaan dari apa yang selama ini dia yakini.

Kejadian tersebut mengingatkan saya kepada Alm. Kang Jalal, sapaan akrab cendekiawan muslim alm. Djalaludin Rakhmat ketika masih muda.  Dalam salah satu bukunya Alm. Dr. Djalaludin Rakhmat menceritakan perjalanan intelektualnya dalam menghadapi perbedaan. Dia pernah membuang bedug dalam suatu masjid di kampungnya karena hal itu dia anggap bid`ah dan tidak sesuai dengan apa yang dia yakini padahal kakeknya merupakan anggota salah satu  organisasi  keislaman terbesar, Nahdlatul Ulama,  seorang ulama yang memiliki ponpes di bukit Cicalengka . Kang Jalal Muda merupakan Aktifis keislaman Rijalul Ghod dan perkumpulan pemuda Darul Arqam, Muhammadiyah. Kang Jalal membuang Bedug di masjid di kampungnya juga atas dasar dari apa yang dia yakini ketika muda. Seiring waktu berlalu sesuai apa yang dia ceritakan dalam salah satu bukunya bukunya  terdapat pengalaman yang seakan membalik pemikiran beliau 180 dearajat. Pengalaman spiritual tersebut begitu melekat sehingga akhirnya justru beliau menjadi pengamal shalawat, membaca kitab Al Barzanji ketika maulid, amalan-amalan yang beliau tentang sebelumnya yang dianggap bid`ah kini justru diamalkan. Dalam karya-karya be;laiu slelau menyinggung masalah cinta dan indahnya keberagaman. Sebagai salah satu pengagum beliau karena citra gaya bahasa yang indah maka saya sempat mengkoleksi semu abukunya. Bahkan salah satu bukunya ''Dahulukan Akhlaq di atas Fiqh" menjadi inspirasi saya sehingga lahirlah karya skripsi saya ketika S1.

Pengalaman saya sendiri Ketika masih kecil waktu menempuh sekolah sore, dikenal sekolah madarasah sore, kebencian terhadap agama lain atau etnis tertentu yang bersumber dari oknum ustadz kadang juga diceritakan kepada murid-murid yang masih kecil termasuk kepada saya waktu itu. Lokasi sekolah yang dekat sebuah kelenteng di pusat salah satu desa di Jepara, Welahan. Banyaknya etnis tionghoa yang ketika merayakan imlek sering membagikan makanan ketilka kami lewat. Mereka berdiri di depan pintu rumah dan menunggu kami lewat membagikan kue khas implek, kue Ranjam,  yang sebenrnya mereka pesan dari orang-orang Jawa. Oknum ustadz sering memerintahkan untuk menolak pemberian itu dengan alasan berbeda keyakinan padahal kami dengan etnis tionghoa hidup rukun saling mengunjungi ketika hari raya. Bahkan ada pemikiran lucu yang belakangan ini saya ingat yaitu banyak orang-orang Jawa yang pada waktu itu les ilmu menjahit kepada etnis tionghoa. Pikiran kami pun dicuci oleh oknum ustadz tersebut kembali dengan mengatakan bahwa kata `les` itu dari kata 'lesson' yang berarti `mencuri`. Akhirnya dari ajaran-ajaran yang diselipkan di pelajaran agama tersebut perasaan kami pada waktu itu juga terbesit rasa tidak suka kepada itnis tionghoa sehingga akhirnya kami merasa risih ketika diberikan makanan.

Namun belakangan pemikiran tersebut membuat saya tertawa setelah sekolah dan belajar bahasa Inggris bahwa arti lesson bukanlah mencuri. `Pemikiran-pemikiran sesat` tersebut yang saya terima waktu kecil berangsur-angsur mulai membaik setelah di dunia kampus dikenalkan dengan buku-buku bernuansa moderat bahkan menjurus ke liberal. Saya melahap koleksi buku pemikiran kebangsaan Nurcholis Madjid, Abdurrahman Wahid, Ulil Absar Abdalla, bahkan buku-buku yang kontra dengan pemikiran mereka sebagai media pembanding. Buku Catatan Ahmad Wahib yang kontroversi juga tidak luput dari bacaan. Selai itu berbagai teman sahabat dari berbagai kelompok agama dan golongan juga sudah mulai saya masuki sehingga lama kelamaan saya merasakan bahwa begitu indah perbedaan ini tanpa harus menggadaikan iman. Bahkan justru dari perbedaan tersebut saya sendiri merasakan begitu hebat dan kerennya Allah SWT menciptakan semua mahluknya.

Sampai saat lulus kuliah pun saya mengajar di sekolah yang terdapat 5 agama di dalamnya dan hidup disebuah propinsi yang terkenal dengan nilai budayanya bahkan saya sendiri menjadi minoritas, saya hidup di pulau Bali. Mereka yang sering hidup dalam `persamaan` dalam hal apapun coba sesekali bukalah pikiran dan hiduplah di pulau ini. Bayangkan Ketika perayaan hari raya Hindu pemuda Anshor ikut menjaga dan ketika perayaan Idul Fitri juga para pecalang dari agama Hindu ikut menjaganya. Ketika saya pindah dari Bali saya Kembali ditakdirkan mengabdi di salah satu sekolah swasta terkenal di  Kota Palembang yaitu Paramount School yang juga terdapat 5 agama di dalamnya. Sekolah ini begitu apik mengelola kerukunan agamanya. Di sekolah ini di sediakan guru agama masing-masing meskipun hanya terdapat beberapa murid, kami saling menghormati satu sama lain.  Model sekolah terbuka seperti inilah yang harus menjadi model ideal Pendidikan Indonesia karen aseperti yang kita tahu Indonesia itu Bergama bukan dikuasai golongan tertentu yang mengkalim dan berhak memiliki bangs ini sendirian . Pemikiran kegamaan yang cenderung fanatik bukanlah berasal dari ajaran agama yang salah namun agama itu hidup, baik dan buruk tergantung bagaimana para pemeluk menginterpretasikan ajaran tersebut. Satu ajaran atau satu ayat tertentu dari kitab suci tertentu bisa saja berbeda tafsir dari orang yang berbeda padahal dari kitab suci yang sama. Mungkin karena itulah bebabgai agama di dunia terpecah belah.

Yang menjadi PR kita Bersama adalah bagaimana kita sebagai seorang guru mengajarkan keberagaman Indonesia yang lebih baik. Sehingga generasi-genarsi yang akan datang tidak akan kita temukan kejadian-kejadian seperti membuang sesaji, mengina penganut agama lain dg simbol-simbol yang mereka miliki berdasarkan `apa yang di yakininya` atau bisa diartikan `sesuai penafsiran agamnya`. Dalam agama Islam sendiri juga sudah diajarakan bagimu agamamu, bagiku agamaku yang jelas tidak ada pemaksaan dan mengandung nilai untuk menghina keyakinan lain. Dalam  berdakwah Islam juga sudah mengajarkan `maidhah hasanah` dengan cara-cara yang baik. Jika setiap pemeluk agama menjalankan ajaran agamanya dengan baik maka secara otomatis akan membawa nama baik agamanya dan akan mengundang orang lain ingin tahu dan memeluknya. Namun sebaliknya jika agama dicitrakan oleh pemeluknya dengan caci maki, kasar terhadap sesama, jauh dari contoh yang baik maka tidak heran agama tersebut akan mendapatkan citra yang buruk dan orang-orang akan menjauhinya. Jadi jangan takut kehilangan umat selagi kita sebagi umat beragama mempunyai akhlak yang baik.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline