Awalnya saya sempat ragu kalau sebagian besar masyarakat Panguragan menekuni usaha pengolahan barang bekas. Saya berpikir, mungkin hanya beberapa orang saja yang menekuni usaha tersebut. Karena dulu, desa ini memang sudah lama tersohor di seantoro Jawa Barat (Jabar) dapat menjadi media ilmu gaib. Dalam sejarah Desa Panguragan, Cirebon, terdapat makam sesepuh Panguragan yaitu makam "Gusti Ratu Ayu Nyai Nyimas Gandasari" yang merupakan salah satu Waliullah anak dari Kanjeng Sunan Gunung Jati Syekh Syarif Hidayatullah Wali Songo. Sejarah dari Gusti Ratu Ayu Nyai Nyimas Gandasari yang diperintahkan oleh Kanjeng Sunan Gunung Jati untuk menyebarkan agama Islam. Pada Jamanya Gusti Ratu Ayu Gandasari pernah berperang dengan Raja Galuh dari Majalengka, Karena Raja Galuh adalah seorang Raja yang Murka dan beragama hindu budha. Atas ijin Allah Swt Kanjeng Gusti Ratu Ayu Gandasari dapat mengalahkan Raja Galuh beserta Bala Tentaranya. Sejarah lain dari Kanjeng Gusti Ratu Ayu Gandasari pernah mengadakan Sayembara, dan banyak lagi sejarah yang menorehkan kisah-kisah sejarah Cirebon. Panguragan merupakan desa ilmu dan dunia /harta.
Namun sekarang desa ini sebagai desa yang penduduknya dikenal menjadi pengusaha barang rongsok. Sepanjang pinggiran jalan raya Panguragan, geliat masyarakatnya kian terasa. Di kanan dan kiri jalan, kios-kios yang menampung barang bekas mulai menyambut saya dan seorang teman. Lalu kami berhenti di salah satu rumah warga. Dari depan, yang terlihat hanya tumpukan kertas bekas beragam jenis. Kami mulai menyapa beberapa orang yang tengah sibuk memilah kertas-kertas bekas. Mereka adalah karyawan UD Bina Karya Sejahtera (BKS), yang bergerak di antara kertas dan boks. Ya, di Panguragan, sampah non organik selalu bisa dimanfaatkan. Demikian Edi Susanto Muchidin, SE (28), salah satu pengelola UD BKS, meyakinkan kami. Selama empat tahun, Muchidin dibantu keluarganya mengelola kertas bekas. “Awalnya saya sendirian mengelola usaha ini. Karena semakin berkembang dan saya merasa kerepotan, maka saya mulai mengikutsertakan keluarga. Seperti ibu, bapak, kakak dan adik saya. Sedangkan saya di bagian sellingnya,” ungkap Edi ketika ditemui Blakasuta pada Selasa (31/4). Kini jaringan usahanya kian bertambah, tidak hanya di Cirebon, tapi juga di Surabaya, Serang dan Bekasi. Membangun sebuah family company, bukanlah hal mudah. Edi berusaha keras agar tidak bentrok, meski dalam satu usaha. Karena selama ini, sebagian besar usaha mikro tidak kuat dalam hal manajemen. “Sebagian besar, mereka melihat pengusaha yang sudah suksesnya. Tetapi setiap orang memiliki pemikiran yang berbeda. Dalam hal ini, saya mencoba membangun sistem. Pertama, membangun kesadaran. Dan kedua, membangun education,” papar lulusan manajemen bisnis Gunadarma Jakarta ini. Dalam mengelola sampah kertas, dia harus melalui beberapa proses sebelum akhirnya membuahkan hasil. Dimulai dari pembelian sampah kertas, pembagian kertas menjadi tiga kelas, kertas sampul (mik), kertas jenis warna putih (SWR), dan kertas buram (ONP/CD), hingga mengelompokkan masing-masing varian kertas. Setelah semuanya siap, dia mulai memasarkan kertas tersebut ke Surabaya, Serang dan Jakarta. Sedangkan kertas-kertas bekas didapatnya dari orang perorang, lapak, perusahaan-perusahaan percetakan baik dari Jawa maupun luar Jawa. “Rata-rata, dalam satu bulan terdapat 12 Ton. Sedangkan pendapatan per bulan, 12 ditambah 4 mik, 8 ton per minggu. Jadi dalam satu bulan ONP, total all item adalah 24 ton ditambah 46 Ton.”
Selama ini karyawan yang bekerja dengannya tidak hanya laki-laki, tapi juga perempuan. Terutama para ibu rumah tangga yang tidak memiliki aktifitas lain selain tugas rumah tangga. ”Karyawan kami terkadang mencapai 30 orang. Kalau karyawan tetap ada 8 orang. Lebih banyak para ibu dan pemuda putus sekolah. Karena kerja di sini, peraturan masalah waktu juga tidak terlalu ketat. Untuk perempuan, kami membayar senilai 25.000 rupiah per hari dan untuk laki-laki 30.000 rupiah per hari. Karena tanggungjawabnya juga beda, lelaki lebih berat,” ungkap Edi. Di era 1970-an, pemegang kapital di Panguragan didominasi oleh para warga pemilik sawah banyak dan luas. Sedangkan kaum proletar (pinggiran) lebih banyak memilih mengadu nasib ke luar Jawa, seperti ke Sulawesi. ”Karena bagi kaum pinggiran, mereka tidak bisa seperti orang-orang yang memiliki tanah banyak. Mereka merantau dan ketemuan dengan yang namanya limbah, baik organik maupun non-organik. Meskipun mereka memiliki tanah banyak karena warisan misalnya. Namun di era 1980-an, pemegang kapital mulai bergeser, proletar yang memilih merantau itu mulai menunjukkan eksistensinya,” jelas Edi. Jadi, lanjut Edi, bergeser di sini maksudnya para proletar yang berhasil mulai menunjukkan eksistensinya. Setelah mereka sukses merantau, mereka kembali ke Cirebon sebagai barometer usaha mereka. Mereka mulai menerapkan usaha pengolahan limbah di tempatnya masing-masing. Selain itu, mereka juga mulai membeli tanah dengan harga di atas rata-rata. Sehingga pemilik tanah, pun tidak bisa menolak karena harganya sangat tinggi. ”Sampai sekarang, pemegang di Panguragan bukan lagi mereka yang memiliki banyak tanah. Karena tanah-tanah mereka sudah mulai habis terjual. Maka sampai sekarang, kalau bicara tanah, harga tanah di sini lebih mahal. Bahkan di kota Cirebon, pun masih tergolong murah jika dibandingkan harga tanah di sini.” Edi sendiri mengaku, orientasi usahanya bukan hanya pada mereka yang naik sepeda, tapi mereka yang punya lapak. ”Kita sebagai cover-areanya seluruh lapak. Pemerintah Belum Peka Menangkap Potensi Masyarakat Panguragan, dari dulu terkenal sangat mandiri. Bahkan menurut Edi, untuk membangun desanya, mereka lebih memilih menyibukkan diri mengembangkan usahanya dari pada mengemis dana dari pemerintah. Selama ini, dia mengaku belum pernah mendapat bantuan dari pemerintah, termasuk pelatihan-pelatihan. Pemerintah hanya membantu membuat jalan raya. ”Malah kalau skill, biasanya perusahaan sendiri yang melatihnya,” ungkapnya. Kendati demikian, Edi tetap berharap pemerintah lebih peka lagi. Karena, meskipun usaha yang berkembang di Panguragan bukan termasuk sesuatu yang bernilai dan berpotensi menjadi khas Cirebon, namun masyarakat tetap butuh. Yaitu ketrampilan (skill) untuk membekali masyarakat menghadapi perkembangan zaman. Lebih-lebih jika pemerintah mau memberikan bantuan modal. sumber gambar saya juga berbagi cerita di sini
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H