“Robohnya gereja kami…” ini bukan judul sebuah novel maupun film. Namun pertama kali membacanya memang mengingatkan saya pada sebuah judul kumpulan cerpen sosio-religi karya A.A. Navis berjudul “Robohnya Surau Kami” yang diterbitkan tahun 1956. Cerpen ini menceritakan dialog Tuhan dengan Haji Saleh, seorang warga Negara Indonesia yang selama hidupnya hanya beribadah dan beribadah. Namun ini adalah status facebook seorang kawan. Tentu saja langsung mengingatkan saya pada salah satu karya monumental dalam dunia sastra Indonesia tersebut. Ia adalah individu yang juga menjadi bagian dari komunitasnya.
Sepertihalnya ia, pada situasi dan kondisi yang kurang lebih sama, bisa jadi saya juga mengungkapkan hal yang sama tentang apa yang terjadi pada kehidupan dan komunitas di mana saya berada. Termasuk ketika kita mendengar dan menyaksikan sejumlah aksi kekerasan, terutama yang dilatarbelakangi perbedaan agama maupun keyakinan, seakan tidak pernah selesai terutama dalam kurun sepuluh tahun terakhir pasca tumbangnya rezim Orde Baru (Orba). Sejumlah aksi kekerasan secara tidak langsung mempertegas, meskipun kebebasan telah menjadi bagian dari denyut nadi kehidupan masyarakat sehari-hari, namun tidak demikian halnya dengan kebebasan beragama dan berkeyakinan. Karena pada saat yang sama, beberapa kelompok ‘bebas’ melakukan intimidasi, teror, dan penyerangan terhadap orang lain yang dianggap berbeda. Seperti praktik diskriminasi dan kekerasan yang menimpa sejumlah komunitas di Indonesia seperti komunitas gereja, Ahmadiyah, Syi’ah dan sejumlah komunitas lainnya.
Tindak kekerasan dan intolerasi terus meningkat setiap tahunnya. Jika malas membuktikannya berdasarkan sejumlah riset meningkatnya intoleransi di negeri ini, saya pikir bagi kita yang peka sudah cukup untuk membuktikanya melalui pemberitaan di media massa. Dalam kasus-kasus penyerangan seperti terhadap Ahmadiyah dan sejumlah gereja, aparat pemerintah dalam hal ini kepolisian dan militer telah bertindak abai dan membiarkan meski mengetahui adanya potensi ancaman dan penindasan yang akan terjadi . Terlalu seringnya menyaksikan peristiwa kekerasan dan bagaimana pemerintah kita menyikapi hal ini, tentunya kita juga telah faham bahwa Negara berkewajiban untuk memberikan perlindungan dan jaminan hak-hak dasar sebagai bagian dari pelaksanaan konstitusi negara.
Indonesia merupakan negara yang majemuk baik dari segi budaya, bahasa, agama maupun sistem sosialnya. Kemajemukan dapat menjadi sumber kekayaan dan pengikat bangsa, namun juga dapat menjadi sumber konflik, jika penyelenggara negara tidak mampu mengelolanya. Bangsa Indonesia telah memilih Pancasila sebagai ideologi negara dan menjadikan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia sebagai puncak nilai dan tujuan akhir negara. Ahmadiyah misalnya, mengalami tindakan kekerasan terbanyak pada era reformasi. Pelarangan Ahmadiyah menjadi issue yang digunakan dalam proses pemiihan umum. Pelanggaran hak atas kebebasan beragama/berkeyakinan telah mengakibatkan pelanggaran hak-hak dasar lainnya baik hak sipil dan politik maupun hak ekonomi, sosial dan budayanya baik sebagai individu, maupun kelompok. Hal ini disebabkan pemerintah sebagai pemangku kewajiban, tidak mengacu kepada konstitusi yang telah disepakati, melainkan menggunakan nalar agama dalam kebijakan-kebijakan publik. Kondisi ini memberikan sinyal yang mengkhawatirkan bahwa empat pilar kebangsaan tidak dijadikan dasar dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Sehingga dapat dipastikan akan berpengaruh terhadap pencapaian tujuan ‘mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia’. Untuk mengatasinya, seluruh elemen harus kembali menjadikan empat pilar kebangsaan sebagai dasar dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Dan mendorong proses demokratisasi ke arah kedewasaan untuk hidup berdampingan
Hak Individu (dari Hobbes dan Locke)
Dalam judul kecil ini, saya ingin mengawalinya dengan berdiskusi tentang konsep individu dalam tatanan politik dari konsep kedua tokoh ini, keduanya berangkat dari sebuah konsep yang sama. Yakni sebuah konsep yang dinamakan konsep negara alamiah atau yang lebih dikenal dengan konsep “State of Nature”. Dalam diskusi-diskusi politik, apa yang saya diskusikan ini sangat sering dikutip. Namun saya benar-benar ingin mendiskusikan ini dengan bahasa saya sendiri, semoga mudah difahami.
Hobbes (1588 – 1679) berpandangan bahwa dalam “State of Nature” individu itu pada dasarnya jelek (egois) – sesuai dengan fitrahnya. Namun, manusia ingin hidup damai. Oleh karena itu mereka membentuk suatu masyarakat baru—suatu masyarakat politik yang terkumpul untuk membuat perjanjian demi melindungi hak-haknya dari individu lain di mana perjanjian ini memerlukan pihak ketiga (penguasa).
Sedangkan John Locke (1632 – 1704) berpendapat bahwa individu pada “State of Nature” adalah baik, namun karena adanya kesenjangan akibat harta atau kekayaan, maka khawatir jika hak individu akan diambil oleh orang lain sehingga mereka membuat perjanjian yang diserahkan oleh penguasa sebagai pihak penengah namun harus ada syarat bagi penguasa sehingga tidak seperti ‘membeli kucing dalam karung’. Sehingga, mereka memiliki bentuk akhir dari sebuah penguasa/pihak ketiga (Negara), di mana Hobbes berpendapat akan timbul Negara Monarkhi Absolute sedangkan Locke, Monarkhi Konstitusional.
Bertolak dari ke semua hal tersebut, kedua pemikir ini sama-sama menyumbangkan pemikiran mereka dalam konsepsi individualisme. Inti dari terbentuknya Negara, menurut Hobbes adalah demi kepentingan umum (masing-masing individu) meskipun baik atau tidaknya Negara itu ke depannya tergantung pemimpin negara. Sementara Locke berpendapat, keberadaan Negara itu akan dibatasi oleh individu sehingga kekuasaan Negara menjadi terbatas—hanya sebagai “penjaga malam” atau hanya bertindak sebagai penetralisasi konflik.
Lalu bagaimana asumsi Hobbes dan Locke tentang tatanan politik dan individu?
Hobbes