Lihat ke Halaman Asli

Mari Menjemput Bahagia

Diperbarui: 26 Juni 2015   17:42

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bahagia... Siapa sie yang gak pengen bahagia... Tiap orang ketika ditanya, pasti pengennya bahagia. Orang menikah pengennya bahagia. Anak pengen membahagiakan orang tua. Begitu pun kita, punya harta benda pengennya bahagia.

Lalu satu pertanyaan yang muncul, banyak orang yang bercerai karena merasa tidak cocok dan bahagia dengan pasangannya. Orang punya harta benda berlimpah tapi hidupnya "kering" terasa hambar. Namun petani yang hidupnya pas-pasan, ibarat kata makan seadanya, ketika ditanya apakah bahagia? Dengan senyum merekahnya sudah menggambarkan kebahagiaan dalam hidupnya.

Bahagia sendiri itu apa? pernah saya menanyakan kepada seorang motivator nasional, sebenarnya bahagia itu yang bagaimana? Karena saya pernah berpikiran, suatu saat nanti ketika saya punya rumah akan ada rasa bahagia itu. Namun ketika keinginan itu tercapai, dimana kesenangan yang dulu saya impikan? Yang ada justru makin banyak keinginan saya pada yang lain lagi. Yang bertolak belakang, ketika saya dan temen-temen karib asyik bercengkerama di pinggir sawah sambil memandang hijaunya padi mencelupkan kaki ke saluran air, di situ ada rasa senang yang tak terkira. Kepala jadi ringan. Ya... seneng aja gitu...

Lalu sang motivator menjelaskan, sebenarnya bahagia parameternya ada pada diri kita. yang menyetel volume bahagia itu kita. rasa bahagia timbul ketika kita menginginkan sesuatu dan dengan sekuat tenaga kita bisa menggapainya dengan disertai rasa syukur. Di situlah bahagia akan muncul... bener juga ya... makanya seperti saya sampaikan di awal, ada petani di kampung-kampung, termasuk orang tua saya kebetulan petani, mereka bisa merasa nyaman dan senang karena mereka "mensyukuri yang ada" bukannya sibuk memikirkan yang tidak ada.

Saya jadi teringat salah satu bunyi dalam bait-bait "Gurindam Dua Belas" karya Raja Ali Haji:

Jika hendak mengenal orang yang berbahagia,
sangat memeliharakan yang sia-sia.


Dari baris tersebut, Raja Ali Haji begitu sederhana namun mendalam, memaknai bahagia dengan: jika hendak mengenal orang yang berbahagia, sangat memelihara yang sia-sia. "Orang yang berbahagia" disamakan dengan "memeliharakan yang sia-sia". Frasa "orang yang berbahagia" berarti orang yang tenang dan tidak mempunyai masalah. frasa itu disamakan dengan frasa "memelihara yang sia-sia" yang berarti "menghargai atau peduli pada hal-hal kecil".

Jadi kalau saya simpulkan, sebenarnya bahagia itu bergantung "kitanya". Dalam artian, kalau kita memang ingin bahagia capailah dengan sekuat tenaga apa yang kita inginkan. Ketika kita sudah mencapainya "bersyukurlah". Namun kalau tidak bisa kita capai, syukuri apa yang ada, syukuri "hal-hal yang kecil". Mari kita belajar dari senyum tulus petani memandang bulir-bulir padi…

Tulisan ini saya dedikasikan untuk "Emak Saya" yang tak pernah lelah mengayuh sepedanya ke sawah..




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline