Lihat ke Halaman Asli

Alika Ghina Utami

Political Science Student

Konflik Internal Partai Golkar Parah, Sebabkan Adanya 2 Kubu Dalam Partai

Diperbarui: 30 Oktober 2021   14:26

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Partai politik merupakan salah satu indikator yang penting dalam berjalannya sebuah demokrasi, karena dengan adanya partai politik masyarakat dapat ikut berpartisipasi dalam proses politik sebuah negara. Adanya partai politik ini sebagai jembatan penghubung untuk masyarakat menyampaikan aspirasinya. Di Indonesia partai politik telah ada sejak zaman kemerdekaan, namun di zaman Orde Baru hanya tiga partai politik. Setelah reformasi, munculah partai politik lainnya karena masyarakat pada saat itu berlomba-lomba untuk membuat partai politik yang baru. Dengan semakin banyak partai politik yang baru ini, tentunya muncul konflik-konflik baik itu konflik internal maupun konflik eksternal. Bagaimana itu bisa terjadi? Dalam kehidupan partai politik tentunya ini adalah suatu hal yang tidak dapat dihindari, karena konflik merupakan bagian dari dinamika politik. Konflik-konflik yang terjadi seperti ini disebabkan bisa jadi karena adanya keterbatasan sumber daya manusia, perebutan posisi antara kader, perbedaan ideologi maupun pendapat. Disini penulis akan membahas lebih lanjut bagaimana konflik internal di salah satu partai besar di Indonesia yaitu Partai Golkar.

Golkar memang merupakan salah satu partai yang masih eksis di Indonesia. Mengapa demikian? Hal tersebut dikarenakan partai ini punya sejarah yang panjang dalam perpolitikan Indonesia. Massa pendukung partai ini sangat banyak, bahkan sampai ke pelosok Indonesia. Maka tidak heran apabila dilihat dari sejarahnya, bahwa partai ini adalah salah satu partai besar di Indonesia. Salah satu konflik internal Partai Golkar yang menarik perhatian penulis adalah konflik di tahun 2014. Konflik ini berawal dari hasil Rapimnas VI Partai Golkar di Jakarta yang memberikan mandat kepada Ketua Umum DPP Partai Golkar yaitu Aburizal Bakrie. Isi dari mandat tersebut adalah menetapkan Aburizal sebagai calon presiden dan calon wakil presiden Partai Golkar dengan memberikan wewenang penuh pada Aburizal untuk menjalani komunikasi dan koalisi dengan partai politik manapun. Pada kenyataannya, sejumlah kelompok elit Partai Golkar tidak setuju dengan mandat penuh yang telah diberikan kepada Aburizal. Peristiwa tersebut diperparah dengan adanya manuver politik Aburizal Bakrie yaitu sehari setelah adanya mandat penuh dari Rapimnas VI mengenai keputusan mendukung pasangan Prabowo Subianto – Hatta Rajasa dalam Pemilu Pilpres 2014.

Dilansir dari nasional.kontan.co.id, Rabu (04/03/2015). Muladi sebagai Ketua Mahkamah Partai Golkar sangat menyayangkan adanya konflik ini yang akan menimbulkan perpecahan di internal. Ia juga mengatakan bahwa kondisi politik saat itu mempengaruhi kondisi internal Partai Golkar, khususnya pada Pilpres 2014. 

“Kekalahan di Pileg dan Pilpres itu menyakitkan,” ucap Muladi.

 Dengan adanya kekalahan tersebut, Muladi berpendapat bahwa ini merupakan pertama kalinya dalam sejarah, Golkar mengambil sikap berada di luar pemerintahan. Hal ini dianggap oleh beberapa tokoh Golkar telah menabrak doktrin partai yang harus selalu berada di pemerintahan demi menjalankan visi dan misi partai. Muladi juga menilik sempitnya jarak antara waktu suksesi kepemimpinan Golkar dengan suksesi kepemimpinan nasional. Hal tersebut yang dianggap sebagai pemicu adanya konflik internal Golkar.

Selain itu, pada tanggal 25 November 2014 terjadi kericuhan pada saat Rapat Pleno penentuan waktu Munas IX yang digelar di Kantor DPP Partai Golkar. Bentrokan terjadi yang melibatkan dua kelompok pemuda yang dianggap sebagai organisasi sayap Partai Golkar. Golkar terbagi menjadi dua setelah kubu Aburizal Bakrie menyelenggarakan Munas IX di Bali pada tanggal 30 November – 4 Desember 2014. Setelah itu menetapkan Aburizal Bakrie sebagai ketua umum serta Idrus Marham sebagai sekretaris jenderal. Muladi mengatakan, Majelis Mahkamah Partai Golkar mulanya setuju dan memberikan putusan sela dan memelopori islah dengan menyertakan tokoh senior Golkar. Namun, keputusan tersebut dibatalkan karena Majelis Mahkamah Partai merasa kecewa dengan sikap yang dilakukan oleh kubu Aburizal Bakrie yang mengusulkan kasasi ke Mahkamah Agung ditengah-tengah berjalannya sidang. Sementara kubu Agung Laksono menggelar Munas IX pada tanggal 6 – 8 Desember 2014 di Jakarta dan menetapkan Agung Laksono sebagai ketua umum dan juga Zainuddin Amali sebagai Sekretaris Jenderal.

Dalam sidang putusan, terdapat empat Majelis Mahkamah Partai Golkar yang menjelaskan berbagai pandangan yang berbeda mengenai putusan perselisihan kepengurusan Partai Golkar. Muladi dan HAS Natabaya tidak ingin menyampaikan pendapat karena pengurus Golkar hasil Munas IX Bali atau disebut sebagai kubu Aburizal Bakrie, sedang mengusulkan kasasi kepada Mahkamah Agung mengenai putusan sela PN Jakarta Barat. Mereka menganggap bahwa sikap yang dilakukan oleh kubu Aburizal Bakrie ini seolah-olah tidak ingin menyelesaikan perselisihan kepengurusan Golkar lewat Mahkamah Partai Golkar. Karena dengan sikap seperti itu, Muladi dan Natabaya memberikan usulan agar kubu yang tidak menang tidak dapat mengambil semuanya, merehabilitasi kader Golkar yang dipecat, mengakomodasi kubu yang kalah dalam kepengurusan, dan kubu yang kalah diminta untuk tidak membuat partai yang baru.

Sedangkan anggota lain di Majelis Mahkamah Partai, Djasri Marin dan Andi Mattalatta, berpendapat bahwa Munas IX Bali yang menetapkan Aburizal Bakrie dan Idrus Marham sebagai Ketua Umum dan Sekretaris Jenderal Partai Golkar ini secara analisis digelar tidak demokratis. Djasri dan juga Andi melihat bahwa pelaksanaan Munas IX Jakarta jauh lebih terbuka, transparan, dan juga demokratis. Walaupun di sisi lain Andi dan Djasri menganggap Munas IX Jakarta memiliki banyak kekurangan. Djasri mengungkapkan bahwa putusan tersebut harus dilaksanakan dengan syarat-syaratnya, yaitu mengakomodasikan kubu Aburizal secara selektif dan memenuhi kriteria, loyal, dan juga tidak melakukan perbuatan yang melanggar norma untuk masuk dalam kepengurusan partai. Majelis juga meminta kepengurusan Agung untuk melaksanakan tugas utama partai, dari mulai musyawarah daerah dan penyelenggaraan Musyawarah Nasional X Partai Golkar. Pelaksanaan ini dilakukan paling lambat di bulan Oktober 2016.

Melihat adanya konflik internal Golkar, Djayadi Hanan yaitu Pengamat Politik berpendapat bahwa konflik Golkar ini semakin parah karena pemimpin partai yang tidak mampu untuk mencari solusi dari konflik internal dan lebih memprioritaskan sikap otoriter dengan memecat kader yang berbeda pendapat dengan elit partai. Ia juga mengatakan bahwa apabila konflik ini tidak selesai, maka Partai Golkar ini akan ditinggalkan oleh para pemilih. 

“Sebagai partai senior yang paling kuat dari sisi kelembagaan dan juga keuangan, Golkar harus menjadi contoh bagi partai politik di Indonesia, bukan malah jadi terjebak dengan konflik internal partai nya” ucap Djayadi. 

Dengan adanya konflik internal seperti itu, penulis berpendapat bahwa cara paling mudah dan strategis dalam menyelesaikan konflik ini dengan bernegosiasi. Karena dengan bernegosiasi dapat menghasilkan suatu keputusan. 




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline