Lihat ke Halaman Asli

Mengejamu

Diperbarui: 17 Juni 2015   20:29

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Semenit bersamamu terasa berarti untukku. Moga kau mengerti itu.

''Terserah.''

Itu kalimatmu yang belakangan sering terdengar ketika aku bertanya, meminta pendapat. Memberiku ruang bebas untuk bergerak. Boleh ke depan atau belakang, kanan dan kiri, atau ke manapun.

''Lakukan apa yang menurutmu itu baik,'' sambungmu lagi.

Terima kasih memberiku ruang gerak. Tapi bagiku, jawaban terserah sama saja pasrah tanpa alasan. Dan kau tahu? Aku tak terlalu suka dengan jawaban itu. Sebab sepertinya tak ada kesungguhan yang bisa dipegang di sana.

Mungkin aku ceroboh. Berkali membuatmu kesal, sebal dan juga marah yang sering terulang. Aku bodoh. Belum bisa mengertimu. Tapi, seperti yang kau bilang, aku juga sama tak bisa lepas dari kekurangan sebagai manusia. Rasanya terlalu naif jika semua itu tak terjadi pada kehidupan manusia.

Selagi aku mampu, selalu kuusahakan ada untukmu, Sayang.

Dan untuk malam ini, biarkan kularungkan kembali namamu di keheningan. Moga itu bisa menjadi pelipurku saat kau ingin menjauh. Menjadi hiasan warna yang baru, saat jejakmu mulai hilang diterpa debu demi debu yang beterbangan.

Sebab mengejamu di keheningan menghadirkan rasa tersendiri untukku. Kala mata-mata terpejam lelap, suara-suara sumbang tenggelam dan hingar-bingar terhenti. Meski hanya sebentar, itu sudah cukup membuahkan cerita yang berbeda.

Aku merasa menemukanmu di sana. Saat mungkin mata bening dan kelopak sipitmu mulai tertutup seiring bibir yang juga perlahan terkatup.

"Tak ada kesepian abadi."

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline