Lihat ke Halaman Asli

Memformat Ulang Kompetisi Sepakbola Indonesia

Diperbarui: 25 Juni 2015   21:13

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Olahraga. Sumber ilustrasi: FREEPIK

Kekacauan sepakbola Indonesia saat ini bersumber dari kekacauan pengelolaan liga. Dan, hal itu dimulai sejak tahun 1994 ketika terjadi penyatuan Kompetisi Perserikatan dan Liga Sepakbola Utama (Galatama) menjadi Liga Indonesia (Ligina).

Menjadi masalah, karena basis filosofi antara kompetisi Perserikatan dengan Galatama berbeda. Pertama, Kompetisi Perserikatan diikuti kontestan perserikatan sepakbola daerah yang hakikatnya bukan klub, tapi asosiasi sepakbola (football association) otonom lokal. Sedangkan Galatama adalah liga dengan kontestan klub-klub sepakbola (football club) semi profesional.

Kedua, perserikatan sepakbola daerah umumnya memiliki liga sepakbola intern yang dikelola secara mandiri. Pemain-pemain terbaik di liga intern itulah yang dipilih dan menjadi tim untuk mengikuti Kompetisi Perserikatan. Polanya seperti asosiasi sepakbola nasional (PSSI) yang menyeleksi pemain untuk tim nasional (timnas). Jadi, tim perserikatan hakikatnya adalah tim daerah (timda).

Ini beda dengan tim Galatama yang berbasis klub dan berorientasi pada bisnis, sehingga pemainnya pun dibayar sesuai standar kompetensinya. Memang, kala itu, Galatama belum menemukanbentuknya sebagai liga professional murni, tapi rintisannya ke arah sana.

Ketiga, tim perserikatan sebagai wakil daerah di kompetisi sepakbola nasional menggunakan dana APBD sebagai pembiayaanya, sedangkan Galatama sebagai kompetisi (semi) profesional dananya berasal dari pemilik klub. Kompetisi Perserikatan lebih menitikberatkan pada pride dan pembinaan sepakbola daerah, sedangkan Galatama berorientasi pada bisnis: industri sepakbola.

Penggabungan Kompetisi Perserikatan dan Galatama dalam payung Liga Indonesia pada 1994 merupakan jalan pintas yang, entah disadari atau tidak, bisa menimbulkan masalah di kemudian hari. Memang, jalan pintas ini dipilih karena klub-klub Galatama gagal membangun basis supporter sehingga mayoritas pertandingan sepi penonton. Akibatnya, satu per satu klub-klub Galatama rontok. Sedangkan tim-tim perserikatan tanpa kerja keras pun para supporter antusias berdatangan ke stadion.

Tentu ada sebab musababnya ini terjadi. Pertama, tim perserikatan umumnya sudah berusia lama. Perserikatan sepakbola yang besar seperti Persija Jakarta, Persib Bandung, Persebaya Surabaya misalnya, bahkan sudah berdiri sebelum Indonesia merdeka. Kedua, semangat kadaerahan yang kentalmembuat tim perserikatan dengan mudah meraih dukungan supporter.

Ini berbeda dengan klub-klub Galatama yang relatif baru dan tidak membawa semangat kedaerahan yang kental. Ditambah dengan lemahnya marketing klub dan pengelolaan liga yang tidak professional, Galatama akhirnya dihakimi sebagai “gagal”.Padahal yang terjadi bukan “gagal”, tapi marketing dan pengelolaan liga yang kurang baik, serta kurang sabar. Lihatlah klub-klub eks Galatama yang “sabar” dan tetap hidup sampai sekarang, basis suporternya juga bagus, seperti Arema, Semen Padang, dan Pelita Jaya.

Sekali lagi, penggabungan Kompetisi Perserikatan dan Galatama pada 1994 adalah “kawin paksa” yang menimbulkan masalh saat ini. Pertanyaan tentang profesionalisme “klub” perserikatan terus terjadi. (Saya menggunakan tanda petik pada kata “klub”, karena tim perserikatan sebenarnya bukan klub).

Muaranya, karena ketergantungan yang kental tim-tim perserikatan pada APBD dan pengurus tim perserikatan yang umumnya “birokratis” dan tidak professional.

Tidak professional, tidak kompeten, tidak transparan. Kata-kata itulah saat ini yang bisa menggambarkan tim-tim perserikatan yang menjadi kontestan “liga professional”, baik Liga Prima Indonesia maupun Liga Super Indonesia. Pengelola liga pun pura-pura tidak tahu ini, karena motifnya adalah keuntungan sesaat.

Oleh karena itu, penataan ulang kompetisi sepakbola Indonesia urgen dilakukan saat ini. Ya, saat ini juga, sebelum sepakbola Indonesia tersesat terlalu jauh.

Pertama-tama yang harus dilakukan adalah mengembalikan perserikatan sepakbola daerah ke khittahnya sebagai tempat pengembangan sepakbola akar rumput (grassroot football development). Tugasnya, pertama, adalah memutar liga sepakbola intern untuk kembali menumbuhkan sepakbola rakyat. Dengan demikian akan ada Liga Persija, Liga Persib, Liga Persebaya dan lain sebagainya.

Kedua, membentuk tim perserikatan atau tim daerah (timda) untuk mengikuti kompetisi nasional. Kompetisi nasionalnya berupa perebutan Piala Indonesia yang mengambil format Piala Dunia. Ketiga, perserikatan sepakbola local juga membangun akademi sepakbola. Outputnya berkompetisi di kejuaraan kelompok umur nasional Suratin Cup. Format baru Suratin Cup bisa dengan memutar, misalnya, Suratin Cup U-13, U-15, U-17, U-19, dan U-21. (Detil soal Piala Indonesia diuraikan di bawah)

Langkah kedua adalah membentuk Liga Indonesia baru sebagai liga sepakbola profesional berbasis klub. Formatnya mengadopsi liga-liga professional di negara-negara maju yang sudah ada saat ini. (Detil soal Liga Indonesia diuraikan di bawah).

Format pemisahan jalur Piala Indonesia dengan Liga Indonesia itu seperti pemisahan antara Kompetisi Perserikatan dengan Galatama. Betul. Namun, format baru ini digelar dengan berbagai modifikasi, khususnya pada Piala Indonesia. Sama-sama kompetisi dengan kontestan tim perserikatan (timda), namun formatnya berbeda dengan Kompetisi Perserikatan.


PIALA INDONESIA
Piala Indonesia digelar untuk mengakomodir grassroot football development yang dikembangkan oleh daerah-daerah. Mirip dengan kompetisi perserikatan terdahulu, Piala Indonesia diikuti oleh perserikatan sepakbola daerah seperti Persija Jakarta, Persib Bandung, PSIS Semarang, PSM Makassar, Persipura Jayapura dan sebagainya.

Bedanya, jika Kompetisi Perserikatan terdahulu menggunakan sistem pembagian divisi, Piala Indonesia mengadopsi sistem Piala Dunia. Jadi, sebelum putaran final, terlebih dulu dilakukan Pra Piala Indonesia (PPI) untuk mencari 8 atau 16 tim di putaran final Piala Indonesia.

Putaran final Piala Indonesia dilakukan dua tahun sekali, namun karena ada PPI yang pesertanya bisa ratusan tim, maka sebenarnya PPI berlansung sepanjang tahun.

Pesertanya adalah perserikatan sepakbola daerah. Perserikatan sepak bola daerah Persija, Persib, PSIS dan lain-lain pada hakekatnya merupakan asosiasi sepakbola otonom di tingkat lokal. Ia bukan klub. Ia perserikatan yang memiliki anggota klub-klub sepakbola lokal. Perserikatan ini memutar liga sepakbola amatir intern, misalnya Liga Persija, Liga Persib, Liga Persebaya dan lain-lain.

Pemain-pemain terbaik di liga sepakbola amatir intern inilah yang diseleksi untuk masuk tim perserikatan untuk ikut kejuaraan Piala Indonesia. Analoginya, kalau PSSI sebagai asosiasi sepakbola nasional membentuk tim nasional (timnas), maka asosiasi sepakbola otonom lokal membentuk tim daerah (timda) untuk ikut di kejuaraan Piala Indonesia. Kalau di tingakt nasional ada timnas PSSI, di daerah ada timda Persija, timda Persib, timda PSM, timda PSIS dan lain sebagainya. Ini juga sejalan dengan otonomi daerah yang sekarang berlaku di Indonesia.

Timda-timda yang mengikuti Piala Indonesia ini tidak boleh diikuti pemain liga profesional maupun pemain asing. Selain memutar liga intern dan membentuk timda, perserikatan sepakbola otonom lokal juga sebaiknya membentuk akademi sepakbola atau diklat sepakbola untuk mengikuti kompetisi Suratin Cup. Dengan demikian, perserikatan sepakbola otonom lokal benar-benar menjadi lembaga grassroot football development.

Bukan hanya membina pemain, perserikatan sepakbola otonom lokal juga berfungsi membina pembibitan klub. Jadi, klub-klub yang ikut liga intern dibiasakan mengikuti kompetisi liga yang sederhana di tingkat local. Jika klub-klub itu sudah mapan dan siap menjadi klub professional, maka bisa ikut masuk ke liga professional.

Dengan tugas sebagai lembaga grassroot football development dan mengikuti kejuaraan Piala Indonesia, maka dana operasional perserikatan berasal dari APBD. Analoginya, sama dengan PSSI yang mendapat dana APBN.

LIGA INDONESIA
Sementara itu, Liga Indonesia dibentuk dan diputar sebagai liga sepakbola profesional nasional. Liga diikuti oleh klub-klub profesional, bukan tim perserikatan. Sistemnya mengadopsi berbagai liga profesional yang ada di dunia.

Jika Piala Indonesia adalah ajang pembinaan dan pride sepakbola daerah, maka Liga Indonesia adalah industri sepakbola yang berorientasi prestasi sekaligus profit. Sebagai subsistem Liga Indonesia juga diputar kejuaraan junior atau tim reserve, semacam kompetisi Primavera atau Baretti di Italia.


Soal penyelanggara, jika Piala Indonesia dikelola langsung PSSI, maka Liga Indonesia bisa diserahkan kepada promotor swasta sebagai operator. PSSI sendiri bertindak sebagai regulator.

Pembagian levelnya, untuk sementara, misalnya dengan satu setengah level atau dua setengah level. Misalnya, dua setengah level: Divisi A, Divisi B, dan Divisi Challenger. Divisi A dan B masing-masing dihuni 18 klub. Sedangkan divisi challenger dipakai sebalai divisi "penampungan sementara" bagi klub-klub new entry yang ingin masuk ke liga profesional dan memenuhi syarat setelah diverifikasi PSSI dan promotor liga.

Misalnya, Divisi A dan B sudah penuh masing-masing 18 klub, dan ada 6 klub new entry, maka mereka berkompetisi di Divisi Challenger yang dua atau tiga klub akan berpromosi menggantikan dua atau tiga klub Divisi B peringkat terbawah.

Jika banyak klub baru masuk, dan Divisi Challenger jumlah klubnya mencapai 18, maka statusnya bisa meningkat menjadi Divisi C. Selanjutnya, PSSI dan promotor liga membuka lagi Divisi Challenger di bawah Divisi C. Begitu seterusnya. Maknanya, makin banyak divisi, artinya makin subur iklim industri sepakbola, dan makin banyak pula "lapangan pekerjaan" yang tersedia.

Salah satu syarat penting yang harus diberlakukan bagi klub yang masuk ke liga profesional, homebase nya maksimal jarak adalah 2 jam perjalanan dari bandara. Ini mutlak agar tim away tidak kesulitan transportasi,  terkuras stamina dan  dananya.

Satu hal yang harus digarisbawahi, pemain-pemain profesional di Liga Indonesia tidak diperbolehkan ikut di Piala Indonesia yang berbasis pembinaan pemain daerah.

Lalu, bagaimana dengan tim-tim perserikatan yang saat ini menjelma menjadi “klub professional” dan tetap ingin berkompetisi di liga professional/Liga Indonesia? Kalau benar-benar mau jadi klub professional, mereka harus menanggalkan nama perserikatan local.

Misalnya, tim Persija Jakarta atau Persib Bandung. Kalau personelnya (manajeman dan pemain) ingin masuk liga professional, harus diwadahi dengan nama baru. Misalnya, Jakarta Raya FC atauFC Bandung. Sedangkan nama Persija dan Persib tetap menjadi nama asosiasi sepakbola local.

HAMBATAN
Untuk merealisasikan Piala Indonesia dan Liga Indonesia model baru itu pastinya bukan hal mudah. Pertama, hambatan akan datang dari pengurus perserikatan yang menjelma jadi klub saat ini, baik yang ikut LPI maupun LSI.

Dengan pola saat ini, mereka masih bisa mengajukan dana sepakbola puluhan miliar (rata-rata di atas Rp20 miliar) per musim dari APBD serta mendapat dana dari penjualan tiket pertandingan dan dana sponsor tanpa harus mempertanggungjawabkannya.

Kalau perserikatan kembali ke khittah dan mengikuti Piala Indonesia, dananya tak akan sebesar itu. Sedangkan kalau mau mendirikan klub profesional, mayoritas mereka tidak punya modal dan tidak memiliki skill manajemen sepakbola profesional. Dapat ditebak, mereka akan mati-matian mempertahankan format saat ini dengan berbagai argumentasi. Padahal, sebenarnya kepentingannya adalah mendulang easy money dari APBD.

Kedua, belum banyak pihak swasta yang bersedia berinvestasi mendirikan klub sepakbola profesional. Tidak mudah untuk mencetak untung dari mendirikan klub sepakbola. Dibutuhkan waktu puluhan tahun untuk membangun basis minimal 20 ribu suporter loyal yang bersedia datang menonton di stadion dengan membayar.

Ini adalah tantangan. Tapi, kalau mau membangun industri sepakbola yang maju, tanpa kontroversi penggunaan dana APBD, maka cara ini harus ditempuh. Dengan demikian, sepakbola Industri yang disalurkan lewat Liga Indonesia akan tumbuh, serta sepakbola pembinaan dan pride daerah yang hadir lewat Piala Indonesia juga akan jalan.

Out-putnya tentu akan terbentuk Tim Nasional yang tangguh dan pride nasional Indonesia akan terangkat. Bravo sepakbola Indonesia.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline