Manusia sebagai makhluk tuhan selalu ingin menunjukkan eksistensinya dalam setiap interaksi yang dilakukan dengan orang lain. Interaksi dengan keluarga, masyarakat dan bahkan dalam jejaring kuasa negara. Namun tidak jarang manusia lupa akan kemanusiaannga yang berpijak dibumi sehingga banyak mengampbil peran tuhan untuk mengkafirkan dan menjustifikasi keimanan seseorang, terkada juga berperan sebagai seorang hakim yang menilai salah dan benar seseorang dan terkadang manusia seakan hidup dalam pijakan bumi yang tidak bersentuhan dengan alam bumi manusia. Semua diorama itu membuat miris yang melihatnya. Mungkin kita ambil pelajaran dari sebuah novel karya pramoedya ananta toer.
Bumi Manusia sebuah judul yang menggetarkan dan mengingatkan bahwa kita adalah manusia yang berpijak di bumi, beratap langit dan berselimut kabut. Kita menginjakkan kaki di bumi yang sama dan tidak berbeda. Bumi mampu menelan setiap manusia, tidak ada manusia yang mampu melawan sang bumi, namun manusia menghiasi dengan kecongkakan, eksploitasi, hegemoni yang tidak disenangi bumi apalagi pencipta bumi.
Kembali pada Bumi Manusia, karya pertama dari rangkaiaan tetralogi Pramoedya Ananta Toer. Karya ini ditulis pada kisaran tahun 1973-1975 ketika mendekam di pulau buru. Sekalipun ditulis pada tahun tersebut, Pram bercerita tentang peristiwa spirit sejarah kisaran tahun 1989-1918, sebuah masa merebaknya khazanah politik etis, kebangkitan nasional, pemikiran tasional Hindia Belanda, munculnya organisasi-organisasi modern dan lahirnya demokrasi ala revolusi perancis. Diorama yang ditampilkan dalam karya ini begitu apik, penuh dengan makna baik secara tersirat maupun tersurat.
Salah satu tokoh yang dihadirkan pada masa kolonial belanda awal abad 20 ini adalah Minke. Seorang pribumi yang mengenyam sekolah HBS, sekolah bagi keturunan Eropa dan bangsawan pribumi. Pribumi selalu dipandang sebelah mata dan dianggap kasta rendah, lebih rendah dari eropa dan bahkan berdarah indo. Karena alasan inilah, banyak pemuda semasanya enggan mengakui keaslian pribuminya, namun tidak dengan Minke
Suatu hari Minke mendapat tantangan dari Robert Suurhof, teman sekolahnya. Dia ditantang untuk menaklukkan hati seorang gadis yang tinggal di wonokromo. Sebenarnya tantangan ini memiliki motif ingin mempermalukan seorang pribumi (Minke). Tak ingin harga dirinya diinjak-injak, Minke menerima tantangan itu dan bersama menuju Boerderij Buitenzorg milik Herman Mellema.
Sebuah rumah terbesar dan sekaligus perkebunan dan peternakan . rumah ini dijaga oleh Darsam seorang bertubuh kekar yang ditakuti banyak orang. Ketika sampai di wonokromo, mereka berdua disambut dengan tidak ramah oleh Robert Mellema. Robert surhof dan Robert Mellema lalu keluar meninggalkan Minke yang ditemani Annelies adik Robert Mellema. Gadis yang menjadi tantangan untuk ditaklukkan hatinya.
Annelies sangat berbeda dengan kakaknya, orangnya sangat rupawan, ramah dan sopa, sikapnya sangat bersahabat dan bahkan sekalipun bertemu pertama kali, annelies mengajak minke mengelilingi Buitenzorg, dan tidak lypa diperkebalkan pada ibunya Nyai Ontosoroh. Sebutan kata Nyai waktu itu dinisbatkan pada istri tidak sah atau gundik bangsawan, begitu juga dengan Nyai ontosoroh yang menjadi gundik Herman Mellema. Namun sejalipun ontosoroh seorang gundik, dia terpelajar seperti orang-orang yang mengenyam sekolahan. Nyai ontosoroh menjamu dengan pantas minke selayaknya tamu.
Pertemuan pertama ini membawa kerinduan dan rasa cinta Annelies kepada seorang pribumi terpelajar seperti minke. Memang sebelum pertemuan dengan minke, annelies adalah sosok yang tak pernah berteman dengan laki-laki, hal ibilah yang mendorongnya untuk menaruh hati pada minke, ditanbah dengan kesopanan dan kecerdasan yang dimiliki minke. Rasa cinta tidak hanya diakui Annelies, ternyata gayung bersambut, Minke juga menaruh hati pada sosok annelies yang sopan dan ramah ini. Perasaan cinta ini mengantarka perilaku lakon minke untuk selalu berkunjung ke rumah Annelie sekalipun pandangan orang lainmiring terhadapnya, sosok minke dikhawatirkan terpengaruh oleh keluarga sosok nyai ontosoroh yang dianggap kurang baik.
Namun minke selalu mengabaikan pandangan miring sekitarnya, karena minke tahu bahwa sosok nyai ontosoroh yang sangat beradap seperti didikan eropa, berbeda dengan nyai-nyai lainnya. Seringnya berkunjung mibke di rumah nyai untuk menemui annelis meicu munculnya gejolak masyarakat sekitatnya, namun minke tetap mengabaikannya dan bahkan tinggal di tempat nyai ontosoroh.
Oleh karena itu, teman-temannya dan masyarakat mulai menghindari minke dengan dua alasan, pertama: tinggalnya minke dirumah sang nyai dianggap tidak etis dan dianggap menyalahi etika masyarakat, kedua: karena sikap minke yang revolusioner yang selalu menyuarakan dan memimpikan melalui tulisannya akan kepemimpinan para pribumi di Hindia Belanda. Keberanian menyuarakan revolusi ini memantik hasrat direktur sekolah untuk memanggil dan mengeluarkan minke dari sekolah.
Akhirnya minke dipanggil dan dikeluarkan dari sekolah dengan alasan klise yaitu minke dianggap sebagai manusia yang tidak senonob karrna sudah tinggal dengan perempuan yang bukan istri dan keluarganya. Setelah dikeluarkan dari sekolah, akhirnya minke yang masih tetap tinggal di wonokromo dengan gigih menyuarakan gagasannya melalui tulisan yang dimuat di berbagai koran dan majalah. Akhirnya melalui perjuangan ini minke kembali mengenyam sekolah di H.B.S dengan jaminan Juffro Magda Peter yang menjadi guru bahasa dan sastranya. Akhirnya minke lulus dari sekolah itu dengan predikat lulusan terbaik se surabaya.