Akhir-akhir ini marak pemberitaan viral. Tentu saja semua pembaca kompasiana memahami bahwa berita viral apa yang sedang trending saat ini. Setidaknya, kita bisa memahami pula bahwa viralnya berita itu dapat menimbulkan banyak hal. Termasuk banyak persepsi.
Mungkin ada yang berpendapat, bahwa adanya peristiwa viral dapat menguntungkan banyak pihak. Mengapa? Sebab, dunia jagat sosial media akan ramai membahasnya. Misalnya ulasan di facebook, instagram, twitter, youtube, podcast atau bahkan siaran di televisi. Semuanya hampir membahasa peristiwa yang hampir sama.
Bagi sahabat yang memang sengaja datang dan meliput peristiwa tersebut, tidak masalah. Itulah risiko bekerja sebagai kuli tinta. Mereka berjibaku dengan tugas dan tanggung jawabnya dalam pemberitaan. Tidak kenal waktu dan menguras energi, tetaplah konsisten pada pengabdiannya. Menulis dan mempublikasi berita. Saya juga sangat senang membaca berita. Menikmati setiap bagian dalam tulisan berita tersebut. Kadang, sedikit-sedikit juga memiliki kesimpulan tersendiri terhadap berita yang dibaca.
Namun, juga ada yang menulis berita atau peristiwa, tetapi penulisnya tidak datang di tempat kejadian peristiwa. Ia bisa saja hanya mendengar melalui orang lain, telepon seluler, video, YT, atau bahkan membaca di media on line maupun off line tentang peristimwa yang terjadi. Kalau hanya sekadar mendengarkan atau membaca berita dan cukup tahu, itulah hal biasa.
Akan tetapi, ada juga mungkin yang menulis dengan cara menyadur ulang tulisan berita atau peristiwa yang sudah ada. Memang, mungkin ia mengambil dari berbagai media atau sumber bacaan. Ia sengaja memilih berita viral dan ditulis kembali menjadi berita ulang. Sehingga dapat menaikkan rating pembacanya, misalnya.
Bisa mungkin, karena ia blogger dengan cakap membaca, maka ia menulis kumpulan kabar atau tulisa lalu diposting kembali menjadi tulisannya. Lalu mencantumkan sumbernya. Sehingga, praktis ia tidak benar-benar hadir dalam peristiwa itu untuk meliput. Baik meliput dengan video maupun gambar atau foto.
Nah, kesibukannya hanyalah sebagai pengumpul berita atau tulisan lalu ditulis lagi. Sekali lagi, biasanya memang menulis ulang berita yang viral. Inilah yang kemudian disebut sebagai penulis pengumpul berita atau tulisan. Baik menggunakan sistem (yang saya tidak tahu) maupun manual. Istilahnya kemudian disebut aggregator. Oleh karena ditulis, maka ia dikatakan sebagai penulis aggregator.
Apakah boleh? Mungkin saja boleh tanpa adanya plagiasi. Tetapi, hemat saya mungkin itu memiskinkan ide kita. Sebab, kreativitas untuk menulis inspiratif menjadi semakin lutur. Pikirannya selalu fokus mencari tulisan viral yang diberitakan. Tidak sibuk mencari ide unik yang cemerlang.
Berbeda dengan proses analisis terhadap tulisan tertentu atau kabar berita untuk kepentingan penelitian dan semacamnya. Jadi, sebenarnya penulis atau blogger itu telah memahami apa yang ditulisnya. Jika dikatakan bahwa berita viral hanyalah sebagai inspirasi? ya tidak mengapa, tidak ada masalah. Sekali lagi, penulisnyalah yang paling memahami.
Jika kita sebagai penulis blog, disarankan tulisannya benar-benar unik. Belum ada yang menyamai kontennya. Bahkan bahasanya lahir pada saat menulis. Bukan menyadur, menyalin atau menulis ulang dari ide yang sudah ada. Namun, tetap bergantung tujuan kita menulis. Rating, cuan, peringkat, atau apa saja.
Kalau menurut sahabat lain, pokoknya menulis saja. Entah viral atau tidak, tetaplah menulis. Sebagian lagi mungkin berpendapat, bahwa buat apa menulis kalau tidak ada pembacanya. Menulislah yang viral agar reputasinya naik dan melejit. Itu pilihan personal, silakan.