Anak adalah penerus bangsa, yang kemudian akan meneruskan pembangunan bangsa dengan harapan mewujudkan bangsa yang maju, namun bagaimana jika anak yang dikatakan Penerus bangsa terjerat dalam persoalan hukum yang mendorongnya harus bertanggung jawab atas perbuatan yang telah dilakukan. Dalam beberapa pemberitaan nasional yang bersumber dari www.detik.com, seorang remaja AS 15 tahun bertempat di Pasangkayu, Sulawesi Barat lakukan pembunuhan terhadap temanya dengan sebuah badik, juga terjadi di Ibu Kota Jakarta bertempat di Koja Jakarta Utara seorang remaja lakukan pelecehan seksual terhadap remaja berjenis kelamin perempuan. Sementara itu data tahun 2020 yang dihimpun KPAI menyebutkan bahwa kekerasan fisik mendominasi kasus kriminalitas yang dilakukan oleh anak, dilanjutkan dengan kekerasan seksual. Ketika seorang anak berkonflik dengan hukum, negara telah hadir dengan perangkat hukumnya yaitu Undang undang Nomor 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak yang merupakan perubahan atas Undang Nomor 3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak. Undang-undang dan Peraturan Pemerintah tersebut sebagai dasar hukum dalam penyelesaian perkara bagi anak yang berkonflik dengan hukum yang mengedepankan prinsip keadilan restoratif.
Asas yang harus senantiasa dipegang dan tidak boleh dikesampingkan dalam hal penanganan anak yang berkonflik dengan hukum adalah asas kepentingan terbaik bagi anak. Dalam setiap perlakuan, tindakan dan putusan yang diberikan, Aparat Penegak Hukum yaitu Pembimbing Kemasyarakatan, Penyidik, Jaksa Penuntut Umum dan Hakim harus menjunjung tinggi asas kepentingan terbaik bagi anak yang mengandung arti bahwa segala pengambilan keputusan harus selalu mempertimbangkan kelangsungan hidup dan tumbuh kembang anak. Sementara itu asas lain yang juga harus diperhatikan adalah pelindungan, keadilan, nondiskriminasi, penghargaan terhadap pendapat Anak, pembinaan dan pembimbingan Anak, proporsional, perampasan kemerdekaan dan pemidanaan sebagai upaya terakhir; dan penghindaran pembalasan.
Dalam konveksi hak anak, asas kepentingan terbaik bagi anak dibagi menjadi 4 kategori yaitu hak terhadap kelangsungan hidup, Hak terhadap perlindungan, Hak untuk tumbuh kembang dan hak untuk berpartisipasi. Sementara itu dalam Pasal 3 Undang-undang Nomor 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak bahwa Setiap Anak dalam proses peradilan pidana berhak: diperlakukan secara manusiawi dengan memperhatikan kebutuhan sesuai dengan umurnya, dipisahkan dari orang dewasa, memperoleh bantuan hukum dan bantuan lain secara efektif, melakukan kegiatan rekreasional, bebas dari penyiksaan, penghukuman atau perlakuan lain yang kejam, tidak manusiawi, serta merendahkan derajat dan martabatnya, tidak dijatuhi pidana mati atau pidana seumur hidup, tidak ditangkap, ditahan, atau dipenjara, kecuali sebagai upaya terakhir dan dalam waktu yang paling singkat, memperoleh keadilan di muka pengadilan Anak yang objektif, tidak memihak, dan dalam sidang yang tertutup untuk umum, tidak dipublikasikan identitasnya, memperoleh pendampingan orang tua/Wali dan orang yang dipercaya oleh Anak, memperoleh advokasi social, memperoleh kehidupan pribadi, memperoleh aksesibilitas, terutama bagi anak cacat, memperoleh Pendidikan, memperoleh pelayananan Kesehatan dan memperoleh hak lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pembimbing Kemasyarakatan yang merupakan salah satu aparat penegak hukum yang memiliki peran penting dalam penyelesaian perkara anak yang berkonflik dengan hukum, sering kali menggunakan redaksi "demi kepentingan terbaik bagi anak" dalam setiap rekomendasi yang termuat dalam hasil penelitian kemasyarakatan. Rekomendasi tersebut dijadikan pertimbangan dalam penyelesaian perkara anak baik melalui jalur Diversi, penanganan anak dibawah 12 tahun dan atau penyelesaian perkara anak dalam persidangan baik dalam bentuk putusan yang bersifat tindakan atau putusan pidana. Rekomendasi Pembimbing Kemasyarakatan maupun putusan hakim haruslah melihat pada kepentingan terbaik bagi anak, termasuk juga rekomendasi atau putusan yang mengarah pada putusan pidana penjara. Rekomendasi Pembimbing Kemasyarakatan atau putusan Hakim berupa pidana penjara bagi anak tidak boleh dimaknai buruk walaupun ada asas lain yang menyebutkan bahwa perampasan kemerdekaan dan pemidanaan sebagai upaya terakhir (ultimum remedium). Dalam pertimbangan tertentu, pidana penjara bisa jadi menjadi putusan terbaik berdasarkan asas kepentingan terbaik bagi anak dengan memperhatikan kelangsungan hidup dan tumbuh kembang anak. Kebalikannya, bisa jadi tindakan atau putusan Kembali kepada orang tua/wali terburuk bagi anak yang berkonflik dengan hukum dengan memperhatikan tumbuh kembang dan kelangsungan hidup anak.
Hasil penelitian kemasyarakatan yang dibuat oleh Pembimbing Kemasyarakatan mengurai secara lengkap sisi social dan kepribadian anak yang berkonflik dengan hukum tentang bagaimana Riwayat kehidupan,prilaku sehari hari, latar belakang tindak pidana, dan pola asuh orang tua serta kondisi orang tua dan lain sebagainya. Pembimbing Kemasyarakatan sering menemukan fakta bahwa perkembangan anak tidak tumbuh dengan baik sehingga mendorong Pembimbing Kemasyarakatan agar anak direkomendasikan untuk dijatuhi putusan pidana penjara. Adapun pertimbangan rekomendasi Pembimbing Kemasyarakatan mengarah pada Pidana Penjara dilatar belakangi banyak hal yaitu orang tua menyatakan diri tidak sanggup mendidik dan mengawasi anak, kondisi orang tua alami perceraian, kedua orang tua klien telah meninggal dunia, anak memisahkan diri dari orang tua dan memilih tinggal di luar rumah bersama teman-teman, telah beberapa kali menjalani proses dalam perkara yang lain, terputus dalam mengikuti Pendidikan, dipisahkan sementara dari lingkungan pergaulan yang buruk, tindak pidana yang dilakukan membahayakan masyarakat dan menimbulkan dampak besar bagi korban.
Oleh karenanya demi kepentingan terbaik bagi anak atas dasar tumbuh kembang dan kelangsungan hidupnya maka berdasarkan pertimbangan- pertimbangan diatas maka pidana penjara yang ditempatkan di Lembaga Pembinaan Khusus Anak menjadi putusan terbaik bagi anak. Ketika berada di Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA), seorang anak dapat melanjutkan Pendidikan formal dan memperoleh pembinaan yang bersifat kepribadian maupun life skill, dipisahkan dari lingkungan pergaulan buruk sehingga itu akan menjadi lebih baik dari pada klien dikembalikan kepada orang tua.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H