Lihat ke Halaman Asli

ALIF RIFQI

Mahasiswa S1 Pendidikan Sejarah UM

Kerajaan Tonga, satu-satunya monarki pribumi yang berkuasa di Pasifik

Diperbarui: 5 April 2023   21:33

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kolonialisme dan imperialisme yang dilakukan oleh negara-negara Eropa telah mengubah banyak tatanan pada wilayah-wilayah yang terjajah. Buah dari kolonialisme dan imperialisme Eropa di berbagai tempat telah melahirkan pola-pola globalisasi yang menyatukan banyak orang dari banyak budaya serta revolusi industri yang mengubah segala tatanan kehidupan menjadi lebih praktis dan cepat, setidaknya hanya itu dampak positif dari kolonialisme dan imperialisme Eropa yang sering digaungkan oleh para politikus-politikus sayap kanan di Eropa. Masih banyak sekali dampak negatif yang dirasakan oleh banyak bangsa-bangsa terjajah yang hingga saat ini merasakan dampak tidak langsung dari penjajahan. 

Kolonisasi Eropa terjadi di hampir wilayah di seluruh dunia, termasuk pada wilayah Pasifik yang  tak luput dari pelebaran sayap imperialisme negara-negara Eropa. Inggris yang kala itu menjadi sebuah kekuatan dunia dengan banyak wilayah turut serta dalam penguasaan beberapa wilayah di Pasifik. Australia, Selandia Baru, Papua Nugini, dan Fiji merupakan wilayah yang dimiliki oleh Inggris pada kala itu. Beberapa wilayah lainnya Kaledonia Baru serta Wallis & Futuna merupakan milik Perancis. Wilayah di Pasifik seperti Australia dan Selandia Baru bahkan mengalami apa yang disebut oleh Miftakhuddin (2019) sebagai kolonialisme penduduk, dimana banyak dari penduduk pribumi dari wilayah tersebut terusir dan terasingkan hingga mengalami pengurangan jumlah penduduk pribumi disebabkan oleh banyaknya penduduk koloni yang datang secara masif dan menguasai tempat yang dulunya merupakan milik pribumi, hal ini dapat kita lihat dari mayoritas penduduk Australia dan Selandia Baru yang merupakan orang Kaukasia atau kulit putih

Namun terdapat sebuah negara bernama Tonga atau dengan nama resmi Kerajaan Tonga yang masih dapat mempertahankan identitasnya sebagai pribumi, setidaknya negara ini masih dapat merasakan kemerdekaan yang penuh tanpa harus merasakan adanya pengaruh kolonialisme yang bercampur pada sendi-sendi kehidupan masyarakat pribumi, hal ini sebenarnya sah-sah saja selama tidak menjadi sebuah tekanan bagi pribumi, apabila kita melihat pada konteks abad ke-21 kita banyak melihat negara-negara di Pasifik masih mengandalkan orang-orang Eropa dalam berbagai aspek, termasuk pemerintahan beberapa negara Pasifik yang masih "disetir" oleh negara Eropa, seperti monarki Inggris yang menjadi kepala negara Papua Nugini, Fiji, dan Tuvalu atau Caledonia Baru yang merupakan wilayah administrasi seberang laut Perancis

Tonga memiliki pemerintahan monarki yang dikuasai oleh kalangan pribumi dengan tradisi yang unik, hal ini yang dapat membedakan Tonga dengan wilayah lainnya di Pasifik yang telah terpengaruh dan dikuasai oleh kolonisasi dan imperialisme Eropa, hal ini dibuktikan dengan independensi Tonga yang memiliki monarki pribumi sebagai kepala negara dan juga kalangan pribumi sebagai kepala pemerintahan di Tonga. Sejarah Tonga sebelum era kedatangan Eropa sangat sulit ditemukan sumbernya karena budaya lisan orang-orang Tonga. Salah satu sumber lisan terdapat pada mitologi Tonga yang menceritakan tentang penciptaan kepualauan Tonga yang diciptakan oleh dewa Maui dengan membentuk pulau Lofanga, Hapa'i, dan Vava'u. Dewa Maui merupakan salah satu mitologi yang terkenal di Pasifik. 

Bukti catatan sejarah yang tertulis dimulai ketika interaksi antara orang Tonga dengan orang Eropa terjadi pada 1616 ketika kapal Belanda"Eendrach" berlabuh di Tonga untuk berdagang (Claessen, 1968). Kapal Belanda tersebuh dipimpin oleh kapten kapal bernama Willem Schouten. Setelah itu juga terdapat kapal Belanda lain yang datang ke Tonga seperti Abel Tazman yang datang pada 1643, Tokoh penjelajah terkenal dari Inggris seperti James Cook juga pernah singgah di Tonga pada tahun 1773, 1774, dan 1777.  Selain itu juga terdapat Spanyol yang berlabuh di Tonga pada tahun 1781 dan 1793. Amerika Serikat juga pernah mengunjungi Tonga pada 1840.

Bentuk konstitusi negara Tonga modern dapat dilacak hingga tahun 1845 ketika seorang bernama Taufa'ahau yang merupakan seorang petarung dan prajurit Tonga menyatukan berbagai wilayah kepulauan Tonga menjadi sebuah Kerajaan bersatu. Wilayah Tonga yang berbentuk kepulauan disatukan menjadi sebuah satu negara dengan pemerintahan monarki konstitusional seperti negara-negara Eropa pada masa itu. Pembentukan Kerajaan Tonga dibantu oleh seorang missionaris bernama Shirley Baker yang sebelumnya juga telah membabtis Taufa'ahau pada 1831 (Claessen, 1968). Kerajaan Tonga mengadopsi sistem-sistem pemerintahan di Eropa dengan beberapa kebijakan seperti sistem hukum tertulis, aturan anti perbudakan, kebebasan berpendapat, serta kepemilikan lahan yang diatur dengan jelas. 

Pada awal abad ke-20 Tonga tidak bisa menghindari pengaruh kolonialisme yang sangat kuat, pada 1900 Tonga bergabung menjadi protektorat Inggris melalui "Treaty of Friendship" dan lepas dari Inggris pada tahun 1970. Namun protektorat Inggris tidak menjadikan Tonga menjadi sebuah negara bawahan atau negara jajahan. Inggris diwakili oleh seorang konsul yang berada di Tonga, namun kedudukan konsul tersebut hanya sebagai perwakilan bukan merupakan gubernur jenderal atau pengatur wilayah jajahan lainnya, maka dari itu monarki Tonga yang dipimpin oleh pribumi tetaplah memiliki wewenang dalam memerintah di Tonga. Status Tonga dibawah Inggris tidak menjadikan Tonga sebagai wilayah yang terjajah, Tonga memiliki wewenang sendiri untuk mengatur segala kedaulatan dengan monarkinya sendiri. Status protektorat Inggris di Tonga berakhir pada 1970 dan resmi menjadi sebuah negara yang merdeka sepenuhnya, Tonga bergabung dengan Perserikatan Bangsa-Bangsa pada September 1999. 

Daftar Pustaka

Claessen, H. (1968). A SURVEY OF THE HISTORY OF TONGA: SOME NEW VIEWS. Bijdragen Tot de Taal-, Land- En Volkenkunde, 124(4), 505-520. doi:http://www.jstor.org/stable/27860981

Miftakhuddin. (2019). Kolonialisme: Eksploitasi dan Pembangunan Menuju Hegemoni. Sukabumi: CV Jejak.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline