Trend thrifting yang banyak terjadi di kota-kota besar di Indonesia akibat dari tingginya animo masyarakat terhadap barang-barang bekas dari luar negeri yang masuk ke Indonesia dan dijual dengan murah, sehingga masyarakat kita lebih memilih membeli barang atau pakaian bekas dari luar negeri karena beberapa barang bermerek dan harganya miring sehingga menjadi berjamur trend thrifting. Sehinga ini menjadi alternatif bagi yang ingin berbelanja baju branded dengan harga murah.Di sisi lain, thrifting juga dianggap sebagai salah satu alternatif berbelanja yang memiliki manfaat tersendiri terutama untuk lingkungan, karena menjadi metode reuse.
Hal ini menjadi polemik yang serius lantaran barang bekas yang dijual merupakan hasil impor dari luar negeri, akibatnya tentu berpengaruh terhadap ekonomi negara dan kerugian negara terhadap perekonomian dalam negeri. Sehingga dampak negatif yang dihasilkan adalah industri dari dalam negeri terpukul lantaran kalah bersaing dengan barang dari luar negeri, tentunya masyarakat kita akan tertarik membeli pakaian bekas yang murah.
Dampak Aspek Kesehatan
Pemerintah telah mewanti-wanti terhadap efek negatif ataupun dampak dari membelinya pakaian dari thrifting, selain alasan perekonomian pun masalah kesehatan mengitari yang membeli dan yang menjual, seperti kontaminasi bakteri baik dari negara asal ataupun melalui pengiriman yang sudah jelas bercampur dengan barang lain yang tidak steril. Berdasarkan hasil penelitian Kementerian Perdagangan, baju bekas impor ternyata mengandung bakteri yang tidak baik bagi tubuh manusia. Walaupun baju itu sudah dicuci berkali-kali, bakteri yang ada di baju tersebut tidak bisa hilang. Itulah dampak yang kita dapatkan dari aspek kesehatan, memang tidak langsung terkena, tetapi dalam jangka panjang bisa saja terjadi.
Adapun aturan mengenai pelarangan impor baju bekas impor telah tertuang dalam Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 51/M-DAG/PER/7/2015 tentang impor pakaian bekas dilarang, dan yang sudah masuk harus segera dimusnahkan. Alasan dikeluarkan Permendagri ini sangat masuk akal memang selain untuk mengurangi peredaran barang thrift juga untuk masalah kesehatan seperti mikroba dan jamur yang tertinggal di pakaian dapat memicu penyakit kulit, termasuk selulitis, melalui kontak kulit. Beberapa komplikasi ini mungkin berbahaya dan bahkan tidak dapat disembuhkan. Penggunaan pakaian tersebut juga dapat menyebabkan penyakit virus termasuk kutil, herpes simplex, dan maloscum. Faktor mikroba dan bakteri yang tersisa pada pakaian bekas terlalu resisten dan tidak dapat dihilangkan dengan pencucian biasa dan harus didesinfeksi melalui proses antiseptik yang tepat. Pakaian yang bersentuhan langsung dengan kulit, termasuk pakaian dalam, memiliki risiko penularan penyakit yang lebih besar.
Dampak Ekonomi Negara
Dampak yang terjadi sangatlah besar, selain memperlambat perputaran ekonomi dalam negeri juga tidak memberdayakan produk lokal. Seperti dalam data badan pusat statistik (BPS), volume dan nilai impor pakaian bekas ke Indonesia relatif meningkat setiap tahunnya hingga memuncak pada 2019.
Pada tahun itu, impor pakaian bekas mencapai 392 ton dengan nilai US$6,08 juta. Sementara itu, pada 2021 BPS mencatat impor pakaian bekas Indonesia menurun dan hanya 8 ton dengan nilai US$44 ribu. Tentunya hal ini akan sangat merugikan, padalah dengan nominal yang segitu besarnya dapat digunakan untuk membuat perpuatan ekonomi sebuah negara semakin cepat dan meguntungkan negara dan masyarakat tentunya. Walaupun memang telah diatur dalam Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 40 Tahun 2022 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 18 Tahun 2021 tentang Barang Dilarang Ekspor dan Barang Dilarang Impor. Faktanya, meski ada larangan mengimpor pakaian bekas, barang tersebut dengan mudah ditemukan di sejumlah pasar di Indonesia, termasuk di kota-kota besar di Indonesia. Karena menurut peraturan tersebut penjualan barang bekas memang tidak dilarang oleh pemerintah, tapi untuk impor pakaian bekaslah yang dilarang.
Upaya pemerintah juga tidak membahas bagaimana menanggulangi mode cepat di Indonesia. Sisi positif kebijakan larangan thrifting juga memperkenalkan produk pakaian Indonesia melalui UMKM. Sehingga mau tidak mau, masyarakat membeli pakaian buatan dalam negeri. Karena pakaian bekas impor yang masuk ke pelabuhan harus dimusnahkan. Sebab, jalurnya tidak masuk lewat pintu resmi sehingga hitungannya adalah barang ilegal. Karenanya, uangnya yang dapat berputar di dalam negeri untuk memberdayakan produk lokal malah berlari ke luar negeri untuk membeli pakaian bekas yang telah dimasukan dalam tiap-tiap karung besar.
Tentu kebijakan yang diambil pemerintah untuk melarang thrifting menimbulkan pro dan kontra di kalangan masyarakat sendiri, tetapi keputusan harus dibuat tegak tidak abu-abu, apakah dilarang atau diperbolehkan, kemudian dalam kebijakan pun harus meminimalisir dampak-dampak negatifnya, tidak hanya melarang kebijakan tersebut tetapi turut menghadirkan kebijakan atau rekomendasi terhadap pedagang yang terdampak.
Bagaimana kebijakan yang menghasilkan win-win solutions?