Cirebon adalah sebuah kota juga kabupaten yang berletak didaerah pesisir utara pulau jawa dengan luas dataranya 37,36 km2 ( 14,42 sq mi) untuk wilayah kota dan 985,00 km2 (380,31 sq mi) untuk kabupaten. Cirebon berbatasan dengan sebelah timur laut Jawa, sebelah utara Indramayu, dan sebelah barat dengan Majalengka. Cirebon sendiri merupakan batas langsung dari dua wilayah suku terbebesar di pulau Jawa, yakni suku Sunda dan suku Jawa. Letak wilayah yang diapit oleh dua suku tersebut menjadikan Cirebon terkadang dipandang sebagai orang sunda menurut pandangan orang jawa, namun merupakan suku jawa menurut pandangan orang sunda. Namun jawaban ini terentaskan oleh sensus penduduk di tahun 2010 yang menyediakan kolom khusus bagi suku bangsa Cirebon. Indikator tersebut dapat dilihat dari perbedaan ciri antara orang Cirebon, sunda, dan Jawa, juga dari kebudayaan yang dimiliki masyarakat Cirebon itu sendiri.
pada era sebelum adanya kemerdekaan Indonesia Cirebon merupakan sebuah wilayah keresidenan yang independen dan dipimpin oleh raja Cirebon, hal ini dapat dilihat dari peninggalan sejarah seperti keraton Kanoman dan Kasepuhan yang masih diduduki oleh sultan Cirebon, juga ada peninggalan otentik lainya yang masih berdiri hingga sekarangpun menjadi bukti lainya tentang kerajaan cirebon.
Tetapi pada masa kolonial abad ke-19 setelah belanda telah mutlak menakhlukan nusantara pemerintah Hinda Belanda membagi pulau Jawa menjadi beberapa wilayah barat, tengah, dan timur, yakni Oots java, dan West java, dan kemudian Midden java yang diresmikan pada tahun 1925.
Dari putusan awal pembagian wilayah oleh Deandles inilah Cirebon masuk dalam wilayah Jawa bagian barat, yakni province west java yang meliputi wilayah Degewesten ( Banten ), Batavia ( Jakarta), preanger-regentschappen ( Priangan ), dan cheribon ( Cirebon ). Tujuanya sendiri yakni sebagai pembagian pusat administrasi hasil bumi yang berlaku pada penduduk bumi putra dalam memberikan hasil buminya untuk pemerintah kolonial kala itu. Tetapi Pembagian batas wilayah ini sempat ditiadakan pada era penjajahan Jepang hingga pra-kemerdekaan Indonesia, Dan diadakan kembali setelah awal kemerdekaan Negara kesatuan republik Indonesia menjadi delapan provinsi awal.
Dari segi bahasa Cirebon sendiri memiliki polemik sebab banyak orang diluar sana yang beranggapan bahwa bahasa penutur yang digunakan masyarakat pesisir pantura itu adalah bahasa Jawa baku atau bahasa sunda murni. Padahal hal tersebut tidak sepenuhnya benar, sebab dari segi fonetik serta morfologi sendiri terdapat perbedaan antara bahasa Cirebon. Sunda. Dan Jawa. Terbukti dalam sebuah kajian dialektologi menggunakan pendekatan Launder memperlihatkan presentase perbedaan 75-76%., lalu peneliti juga menggunakan kurang lebih 2.400 kuesioner dengan menerapkan percakapan sehari-hari antara masyarakat Jawa dan Cirebon, dan menghasil kan perbedaan 75% untuk bahasa jawa tengah dan 76% dengan bahasa jawa timur. Dengan bahsa sunda menggunakan 1568 dialek membuahkan presentase 37,63% baik yang sama maupun yang berbeda. Penutur bahasa Cirebon mengekspresikan dirinya sebagai tiang Grage atau wong Cirebon.
Bahasa Cirebon sebagai bahasa mandiri juga diperkuat dengan landasan peraturan daerah provinsi Jawa barat nomor 5 tahun 2003 yang berisi : bahasa dapat dikatakan sebagai mandiri apabila ada pengakuan oleh penuturnya, bahasa dapat dikatakan mandiri atas dasar linguistik, dan yang terakhir yakni atas dasar politik. Cirebon juga memiliki bahasa khas sendiri seperti jeh, reh, dingin, kuh, gah, dan lainya. Identitas lainya yakni bahwa Cirebon memiliki tiga dialek, yang pertama ada dialek jawa sawareh atau juga dikenal sebagai jawareh. Biasanya dialek tersebut sering digunakan oleh warga Cirebon yang berbatasan langsung pada provinsi Jawa tengah tepatnya brebes, dan majalengka serta kuningan pada wilayah pasundan. Bahasanya sendiri separuh Cirebon dan jawa atau Cirebon dan sunda.
Lalu ada dialek plered dan lor dialek ini biasa digunakan oleh masyarakat kecamatan plered atau sekitarnya, dalam penuturanya lebih menekankan pelafalan "O" seperti kata sedina menjadi sedino, mana menjadi mano, ira menjadi iro, iya menjadi iyo dan lainya. kemudian ada dialek Arjawinangun dimana dialeknya masih asli dan paling banyak digunakan wong Cirebon pada umunya, dan yang terakhir ada dialek Gegesik yang mana sering digunkan pada lakon sandiwara atau pewayangan oleh dalang Cirebon dan digunakan oleh orang gegesik atau wilayah sekitar utara Cirebon.
Hal yang menarik dari bahasa Cirebon pada masa lampau yakni pada zaman dahulu Cirebon memiliki sebuah aksara yang dinamakan rikasara. Dalam metode penulisan aksara rikasara memiliki tiga cara. Yang pertama adalah sasandisara, sasandisara adalah tekhnik penulisan menggunakan sandi yang rahasia supaya tidak diketahui oleh orang umum. Kemudian ada Angarasara yakni cara menulis yang umum digunakan untuk meyurati Anjengan atau para kyai. Gaya penulisanya yaitu kawatu, layus, dan halif. Dan yang terakhir adalah bandasara yakni tekhnik penulisan rahasia yang dikemas dengan do'a. kerumitan dari surat ini yakni banyak prasyarat yang digunakan bersamaan dengan balutan ayat-ayat suci Al-qur'an dan sebuah aksara sandi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H