Kekerasan seksual adalah segala sesuatu yang dilakukan dengan menyasar seksualitas seseorang tanpa persetujuan orang tersebut disertai dengan adanya unsur paksaan atau ancaman, dan dapat berakibat pada terganggunya kesehatan fisik maupun mental seseorang tersebut. Di Indonesia, banyak terjadi kasus kekerasan seksual yang dialami oleh berbagai kalangan, terutama kekerasan seksual pada anak. Oleh sebab itu, diharapkan pemerintah dapat memberikan perlindungan kepada korban tindak kekerasan seksual dan memberikan sanksi hukum pada pelaku tindak kekerasan seksual tersebut.
Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) menyatakan bahwa kekerasan seksual adalah setiap perbuatan yang merendahkan, menghina, menyerang, dan atau perbuatan lainnya terhadap tubuh, hasrat seksual seseorang, dan atau fungsi reproduksi, secara paksa, yang bertentangan dengan kehendak seseorang, yang menyebabkan seseorang itu tidak mampu memberikan persetujuan dalam keadaan bebas, karena adanya ketimpangan relasi kuasa dan atau relasi gender, yang berakibat atau dapat berakibat timbulnya penderitaan atau kesengsaraan baik itu secara fisik, psikis, seksual, kerugian secara ekonomi, sosial, budaya, atau politik.
Perlindungan terhadap kekerasan seksual pada anak dapat dilakukan dengan cara melakukan pencegahan, tidak hanya menghukum/memberikan sanksi pada pelaku lalu ketika sudah dihukum dianggap telah memberikan keadilan pada korban tetapi juga perlu memberikan pengertian tentang bagaimana sebenarnya pelecehan seksual tersebut untuk mencegah angka terjadinya pelecehan dan kekerasan pada anak-anak yang menjadi korban tersebut, diantaranya pemberian pengetahuan mulai dari lingkungan keluarga, lingkungan sekolah, serta lingkungan masyarakat luas. Perbuatan cabul dan pelecehan seksuan adalah salah satu bentuk kekerasan seksual.
Perbuatan cabul anak dapat diarahkan pada aktivitas seksual verbal dan non-verbal, seperti memeluk alat kelamin seseorang, menawarkan seks yang tidak diinginkan/diinginkan korban, dan mengandung unsur intimidasi dan paksaan. Peraturan perundang-undangan tentang pornografi itu sendiri yang termuat dalam KUHP antara lain perbuatan pornografi terhadap orang dewasa, anak-anak dan lain-lain, perbuatan pornografi terhadap besar diatur dalam Pasal 281, 282, 283, 283b, 284 dan 286.
Sanksi pidana bagi pelaku kekerasan seksual terhadap anak di bawah umur telah diatur dalam Undang-Undang Perlindungan Anak Nomor 35 Tahun 2014 tentang perubahan atas Undang-Undang Perlindungan Anak Nomor 23 Tahun 2002, Pasal 81, titik (1), (2), (3). Pemberian hukuman tambahan bagi pelaku pemerkosaan di bawah umur harus diterapkan agar memberikan efek jera bagi pelaku.
Salah satu peraturan yang terkait dengan kekerasan seksual dalam hukum pidana Indonesia adalah Pasal 285 KUHP tentang Pemerkosaan, khususnya hubungan seksual paksa dengan hukuman penjara maksimal 12 tahun bagi pelakunya. Pasal ini menjelaskan bahwa seks penetratif, yaitu jika ada tindakan seksual yang dipaksakan tanpa penetrasi, seperti "menempelkan" alat kelamin, menyentuh tubuh wanita, sambil berciuman atau 'hal-hal lain yang berbau sensual, yang didefinisikan hanya sebagai tindakan perbuatan asusila, seperti yang diatur dalam pasal 289 KUHP yang berkaitan dengan pornografi dengan pidana penjara paling lama 9 tahun.
Ketentuan tentang pemerkosaan dengan anak diatur dalam Undang-Undang Perlindungan Anak Nomor 35 Tahun 2014, Pasal 81 dan 82 ayat (1), (2) dan (3) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak. Dalam pasal 76D, 76E dan dalam KHUP juga terdapat beberapa ketentuan tentang perlindungan anak terhadap kekerasan seksual, perlindungan anak ditunjukkan dengan adanya ketentuan sanksi pidana terhadap pelaku yaitu: dalam pasal 287, 288, 291 yang mengatur tentang laporan kekerasan seksual.
Banyak korban kekerasan seksual cenderung tidak melaporkan kasusnya ke penegak hukum dengan alasan dasar hukum yang tidak pasti, ketakutan, bukti yang tidak cukup untuk melapor, hukuman bagi pelaku tidak proporsional dan tidak ada perlindungan bagi korban. Selain rumitnya proses persidangan dan kurangnya perlindungan bagi korban, lembaga-lembaga terkait juga perlu bertindak dalam hal ini agar tidak semakin banyak orang yang menjadi korban kekerasan seksual ini.
Referensi
Suryadi, D. dkk. 2020. Penerapan Sanksi Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana Kekerasan Seksual Terhadap Anak. Jurnal Darma Agung Volume 28 Nomor 1
Alpian, Riyan. 2022. Perlindungan Hukum Bagi Korban Tindak Pidana Kekerasan Seksual di Perguruan Tinggi. Yogyakarta: Lex Renaissance Volume 7 Nomor 1