Lihat ke Halaman Asli

Wartawan, Bukan Pekerjaan Sampingan

Diperbarui: 8 Desember 2019   23:30

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Karier. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Tulisan ini sudah lama ingin kubuat, bisa dibilang sekitar enam bulan yang lalu. Namun, karena ada beberapa deadline yang harus dikerjakan, berimbas kepada tak siapnya tulisan ini. Sekarang, aku sudah tidak memiliki terlalu banyak deadline, segalanya sudah terselesaikan satu demi satu, hanya menunggu hasilnya di akhir tahun nanti. Semoga Tuhan memberkati.

Seperti judul tulisan ini, isinya tak akan jauh-jauh membahas perihal itu, benar, wartawan. Nampaknya, tak perlu penulis paparkan apa dan bagaimana sistem kerjanya, tentu pembaca sudah mengetahuinya, karena kerap sekali dengan kehidupan masyarakat. Bertugas sebagai kontrol sosial, kalau bahasa kerennya social control.

Namun, penulis mengetahui jika pembaca tidak semua pintar dan paham tentang apa itu wartawan. Karena penulis merasa iba, karena pembaca sangat dangkal wawasannya, penulis ingin memberikan penjelasan singkat mengenai apa itu wartawan. Sebelum itu, jangan marah jika di paragraf ini kata-kata dari penulis sedikit kasar, atau malah sangat kasar. Semua itu ada tujuan, yang tak bisa disebutkan apa tujuannya.

Dari ilmu yang penulis dapat selama berproses di dunia jurnalistik selama dua tahun terakhir, dilanjutkan dengan latar belakang pendidikan penulis yang sekarang mengambil studi komunikasi penyiaran Islam di salah satu Universitas yang katanya Islam ini, akan mencoba memaparkan apa itu dunia kewartawanan. Singkat kata, wartawan itu adalah pencari fakta, mulai dari prosedur awalnya pemilihan isu, mewawancarai narasumber, menggali informasi, hingga fakta dalam bentuk tulisan panjang ataupun singkat bisa sampai kepada pembaca/masyarakat.

Ketika di lapangan, tak menutup kemungkinan sistem kerjanya berubah, tak harus pemilihan isu diletakkan di awal pencarian fakta. Bisa jadi, menggali informasi lebih dulu atau langsung temui narasumber dan mengeluarkan senyum paling indah sepanjang masa, hahah.

Wartawan yang baik adalah ia yang selalu berpikir dan menebarkan senyum indah kepada narasumber, mengingat sistem hidup orang-orang berpangkat adalah suka dipuji, tentunya meilihat senyum dari wartawan akan membuat narasumber senang dan mau memberi informasi. Apa lagi senyum wartawan yang belum digaji, akan terlihat sangat ikhlas, sangat.

Namun, saya tak ingin panjang lebar dalam penjelas makna apa itu wartawan, nanti pembaca bosan membaca tulisan ini, mengingat dan menimbang bahwa minat baca masyarakat Indonesia sangat rendah. Termasuk penulis, sayangnya, penulis bukan warga negara Indonesia, hanya numpang tinggal sebentar saja, sehabis itu akan mengunjungi Tuhannya, Aamiin.

Sakit Hati

Seperti sub judul ini, ah, banyak sekali judulnya. Di sini, penulis akan bercerita sedikit tentang dialog-dialognya dengan beberapa orang semasa penulis berkenalan dengan dunia jurnalistik. Tak sedikit mengatakan "Kalau nanti enggak dapat kerja, saya jadi wartawan dulu" bukan hanya itu, ada yang lebih pedih, seperti ini misalnya "Kelihatannya, wartawan itu sering dapat amplop, aku mau juga, nanti tes jadi wartawan ah". Sangat bangsat sekali kalian yang berpikir seperti ini, maaf, keceplosan.

Bukan hanya satu orang, sepanjang perjalanan di dunia jurnalistik, penulis menemukan lebih dari satu orang mengatakan demikian. Kenapa penulis hanya mengatakan lebih dari satu orang, karena jika disebutkan jumlahnya keseluruhan penulis takut salah, karena bawaan sejak lahir yang susah mengingat angka, kecuali tanggal lahir ibu, ayah, saudara dan uang.

Menanggapi hal itu, ada banyak cacian dan makian yang ingin penulis sampaikan, melalui tulisan ini, besar harap dibaca oleh mereka dan bisa menjadi bahan pertimbangan lagi.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline